Sementara, prinsip asesmen adalah valid, adil, objektif, menyeluruh, berkesinambungan, terbuka, dan bermakna.
“Semakin banyak kita memberi asesmen itu semakin baik, memberikan semua kegiatan tidak berkonsentrasi kepada kita selaku pengampu, tetapi memberikan keseluruhannya kepada mahasiswa,” ungkap Grendi.
Namun, terkadang dosen lupa bahwa ketika memberikan banyak tugas kepada mahasiswa sebenarnya juga berkorelasi pada konteks penilaian. Penilaian dapat berwujud angka, skor, maupun umpan balik. Hal itu yang terkadang tidak dilakukan oleh dosen, di mana mahasiswa menerima banyak tugas tetapi tidak pernah tahu tujuan dari penugasan tersebut karena tidak menerima feedback.
Grendi mengatakan, ketika dosen mengasesmen mahasiswa maka juga harus siap dengan penilaian. Proses penilaian dapat dilakukan dengan cara memberikan kunci jawaban agar mahasiswa mengetahui benar dan salahnya, ataupun feedback dalam bentuk lain.
“Sehingga pada akhirnya capaian pembelajaran yang diberikan dalam mata kuliah itu akan terpenuhi dan seharusnya tidak ada mahasiswa dengan nilai C/D karena ada proses evaluasi dalam konteks penilaian tersebut,” ungkapnya.
Ketika asesmen dan penilaian sudah dilakukan, bagian terakhir adalah evaluasi yang merupakan proses pemberian status lulus/tidak dan mencapai capaian kompetensi/tidak. Evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah yang dilakukan mahasiswa sudah sesuai atau belum. Fungsi evaluasi adalah untuk perbaikan ke depan, bukan untuk menjustifikasi baik/tidak baik.
Lebih lanjut, pengembangan asesmen memerlukan proses yang panjang di mana sebuah inovasi itu sebenarnya dimulai dari merencanakan pembelajaran semester, capaian pembelajaran, strategi pemenuhan, aktivitas pembelajaran dengan umpan balik, hingga hasil akhir. (/Wfr)