“Kamu pernah nulis nggak sih!” Kata-kata yang selalu terngiang di benak perempuan kelahiran 06 Agustus 1995 ini. Lintang Cahyaningsih, mahasiswa Ilmu Komunikasi Fisipol UGM 2013 mengawali masa-masa kuliahnya dengan segudang aktivitas di dunia pers mahasiswa. “Balairung telah banyak memberikan pelajaran bagiku, hingga kini aku menyukai dunia jurnalisme,” pungkas Lintang. Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BPPM) Balairung UGM memang menjadi rumah kedua bagi Lintang. Banyak hal yang ia dapat dari keluarga hingga pelajaran yang sangat berharga.
Balairung juga yang membawa Lintang menekuni tulisan-tulisan Tempo Media. “Kalau di Balairung rujukannya Tempo, jadi mau nggak mau harus sering belajar model tulisannya,” papar gadis asal Jogjakarta ini. Apalagi di tahun 2015, Lintang harus mengemban tugas menjadi pimpinan redaksi di lembaga tersebut. Sehingga, Lintang dituntut lebih paham dari yang lainnya. Kebiasaan selama di Balairung inilah yang membuat Lintang penasaran siapa orang-orang di balik tulisan Tempo. Ia kagum dengan karya-karya yang dihasilkan oleh Tempo.
Terhitung sejak 4 Desember lalu, rasa penasarannya kini terbayarkan. Lintang berhasil menduduki kursi sebagai pimpinan redaksi Tempo berkat kompetisi Tempo Media Week 2017 yang bertajuk “Rebut Kursi Pemred Koran Tempo” pada 24-26 November. Lintang mengangkat tema digitalisasi media dan personalisasi wartawan. Ide tersebutlah yang menghantarkan Lintang pada kursi yang diidamkan kebanyakan orang. “Kebetulan ideku ini inline dengan Tempo ke depan,” tambahnya. Lintang mengangkat tema digitalisasi media karena menurutnya Tempo masih sangat lemah dipersoalan ini, sehingga ia ingin memperbaikinya.
Sedangkan, untuk ide personalisasi wartawan, Lintang mengaku ingin sekali membuat profil lengkap tiap wartawan Tempo. Lintang berpikir bahwa di dapur redaksi para wartawan bisa menuliskan banyak cerita dan pengalamannya sebagai wartawan Tempo.
Meskipun hanya satu minggu, ia kini dituntut untuk benar-benar merealisasikan ide-idenya. Lintang tidak hanya membayar penasarannya, namun ia kini telah menjadi bagian dari kemajuan Tempo. “Aku kira hanya nangkring aja, ternyata semua idenya dieksekusi. Hampir setiap hari rapat sama redakturnya,” ungkap Alumnus Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 8 Yogyakarta ini.
Lintang mengaku banyak belajar di Tempo. Meski dengan waktu yang singkat, ia mampu menyerap banyak ilmu, pengetahuan, dan pengalaman dari Tempo. “Pas rapat sama para redaktur, aku ngerasa masih bodoh banget, memang harus banyak belajar,” ujarnya.
Sedari kecil Lintang dibesarkan di lingkungan akademik. Kedua orang tuanya berprofesi sebagai pengajar sehingga masa kecilnya sudah dipenuhi dengan nuansa “sekolah”. Hal inilah yang mendorong Lintang untuk mencari suasana baru. “Keluargaku akademis banget yang jelas, jadi ya aku selalu ada dorongan untuk coba-coba banyak hal yang bisa ngembangin kemampuanku,” papar Lintang. Oleh karena itu, Lintang ingin di masa kuliahnya ia tidak hanya bergulat dengan persoalan akademik semata.
Selain menggeluti dunia jurnalisme, Gadis yang pernah menjadi delegasi UGM di “United States-Indonesia Partnership Program” 2016 ini juga tertarik dengan dunia public speaking, broadcast, dan research. Terbukti, di Departemen Ilmu Komunikasi, Lintang mengambil konsentrasi public relation. (/ran)