Setelah menjalani serangkaian seleksi, akhirnya dua mahasiswa FISIPOL UGM, Arief Prawidya dan Elrepyan Upadio (Ilmu Komunikasi 2013), pada 14-17 Desember 2016 lalu berhasil menorehkan prestasinya dalam ajang kompetisi bergengsi Citra Pariwara 2016. Citra Pariwara merupakan festival untuk seluruh praktisi komunikasi pemasaran: advertising, media dan digital yang menurut Arief secara eksplisit merupakan ‘medan perang’.
Tahapan lomba Citra Pariwara dimulai sejak November 2016, brief diumumkan pada tanggal 5 Desember 2016 pukul 21.00 WIB, dan deadline pengumpulan karya tanggal 7 Desember 2016 pukul 21.00 WIB. Sehingga proses pembuatan karya hanya dua hari, sejak diumumkan brief. Lalu pada tanggal 14 Desember 2016 registrasi finalis, 15 Desember 2016 final presentation bertempat di Dharmawangsa Square Kebayoran Baru. Ditutup dengan Malam Anugerah Citra Pariwara (16/12) di Epiwalk Kuningan, sebagai malam apresiasi untuk pencapaian kreatif insan-insan periklanan. Malam Anugerah diawali dengan pengumuman pemenang BG dan bidang kompetisi lainnya serta diakhiri dengan after party.
Citra Pariwara terdiri dari berbagai bidang kompetisi, yang diikuti Arief dan El (sapaan akrab Elrepyan Upadio) ialah BG. “Menurut juri BG sebenarnya dalam Bahasa Inggris biji literally biji artinya mahasiswa dianggap tunas muda harapan bangsa,” ujar Arief. Dewan Juri untuk kategori BG terdiri dari Roy Wisnu (Chief Creative Officer, Mullenlowe Indonesia), Billy Andrea (Creative Director, Dentsu Strat), Lucky Sutanto (Creative Director, Y&R Indonesia), Mia Fawzia (Managing Director, Havas Digital Indonesia), dan Reynaldy Arief Jolly (Associate Creative Director, Leo Burnett Indonesia). Festival yang diikuti oleh kedua mahasiswa Fisipol UGM berhasil mendapatkan penghargaan Gold dan menyisihkan 9 tim delegasi dari berbagai universitas di seluruh Indonesia.
“Brief yang dikeluarkan Citra Pariwara tahun ini agak berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Perbedaan tersebut terletak pada klien yaitu Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF). BEKRAF sendiri baru dibentuk pada masa pemerintahan Jokowi. Intinya kan di Indonesia banyak banget artisan dari yang level kecil, menengah sampai yang udah mapan sampai ke internasional, itu masih kayak pada jalan sendiri-sendiri. Tidak ada identitas yang menyatukan. Brief tidak hanya sekedar iklan yang seperti biasanya, casenya adalah menemukan sebuah identitas (public relation dan branding) yang dapat mewakili industri kreatif Indonesia yang terdiri dari beragam artisan,” jelas Arief.
Mahasiswa Fisipol UGM mengusung adarma yang berasal dari Bahasa Sanskerta, artinya pejuang mengabdi. Kata ini dirasa cukup mewakili identitas artisan Indonesia yang beragam. “Diawal brainstorming kita masih debat sebenarnya harus ngapain trus akhirnya kita nangkep di salah satu kalimat di brief intinya butuh identitas lalu setelah itu fokus bikin kayak identitas yang relevan,” jelas Arief. Arief dan El tidak ingin ada kultur yang mendominasi sehingga kembali ke sejarah Indonesia yang netral dan menemukan kata dari bahasa sansekerta yaitu adarma.
“Adarma kami cari dengan sangat spesifik, sebuah kata yang mengandung filosofi. Adarma artinya berjuang, mengabdi. Sambil cari kata kita juga cari insightnya orang Indonesia. Pekerja kreatif Indonesia itu kerja keras, pejuang, I mean dengan segala keterbatasan mereka tetap bisa berkarya dengan caranya sendiri sendiri sampai ke internasional dalam arti mengabdi pada passion,” ungkap Arief.
Contoh paling sederhana yang dapat mewakili adarma yang Arief dan El tangkap ialah Mahar, teman angkatan mereka sendiri. Mahar memiliki usaha kaos lukis yang dimulai dari nol: mempromosikan kepada teman-teman sekitar, menciptakan brand sendiri dan kini brand tersebut telah masuk dalan nominasi peragaan busana di New York.
Dalam proses pembuatan karya, Arief dan El saling memberikan kritik terhadap ide masing-masing. “Pembagian tugas kami saling menutupi satu sama lain, saya lebih ke mikirin insight kalau El dia yang dapat kata adarma dan bagian design,” ujar Arief.
Dalam ajang yang sama, Putri dan Arum Sekar Cendani (Ilmu Komunikasi 2014) mendapatkan penghargaan silver. “Wholeheartedly Made itu nama campaign kami,” kata Putri Cahyaningtyas di awal wawancara.
“Sebenarnya kalau misalkan kita kan ngelihatnya subsektor dari BEKRAF (Badan Ekonomi Keratif) ini banyak, ada 16 mereka subsektornya jadi kita harus nyiptain satu image yang bisa mewakilkan 16 subsektor itu. Kalau proses pencarian idenya kita kayak cari apasih kesamaan yang dimiliki semua artisan Indonesia kayak gitu. Satu hal yang bisa menggambarkan mereka, trus kita juga banyak tanya-tanya kebetulan kita tanya ke pelaku pekerjanya sendiri tapi ga semua sih paling cuma ada yang pelaku fashion, arsitek, tapi kita tanya yang in depth interview gitu. Apa sih kenapa kamu melakukan pekerjaan ini? Latar belakang mereka itu apa ternyata kita nemuin satu kesamaan diantara mereka. Mereka seneng kalo hasil karya mereka itu bisa bermanfaat buat orang lain dan seneng mereka itu yang tulus. berarti mereka bekerja sepenuh hati,” ujar Putri.
Dalam kesempatan yang sama, Arum Sekar Cendani melanjutkan bahwa proses pencarian identitas ini mereka temukan dengan melibatkan para artisan. “Jadi kayak kita mau cari sebenarnya ada silver lining ga sih diantara mereka padahal kan mereka sektornya beda ada arsitek sama fashion. Kita pengen tahu sebenarnya ada jawaban-jawaban mereka yang bisa kita korelasikan ga sih untuk menggambarkan industri kreatif Indonesia. Ternyata kedapetan kalo misalkan nilai-nilai karya yang mereka buat mereka pengennya seperti apa, mereka pengen karyanya yang bisa bermanfaat bagi orang lain jadi kita pengen kita bawa prosesnya.”
“Sama kan pendekatan kita memang story telling jadi itu apa yang bisa mereka ceritakan ketika mereka berkarya ini ya prosesnya. Itu yang bikin kita yakin kalau wholeheartedly ini bisa diangkat, mereka bisa nyeritain kalau mereka bikin karya sepenuh hati,” tambah Putri.
Wholeheartedly Made bertujuan untuk merepresent artisan Indonesia bahwa mereka menghasilkan karya dengan sepenuh hati. Para artisan ini terdiri dari orang-orang baik, orang-orang tulus, orang-orang yang bekerja dari hati untuk menghasilkan karya yang dipasarkan secara lokal maupun internasional. “Karena kan disini juga dari BEKRAF sendiri mereka mintanya gimana caranya kita membawa image ini ke mata dunia kayak gitu kan. Indonesia kan basicly udah terkenal kalo misalkan negara yang ramah yang rajin tersenyum dan sebagainya. Kita pengen bener-bener apa ya mempertahankan image itu dulu,” ujar Cendani.
Dalam proses pembuatan karya ini, keduanya mengaku kesulitan dalam menyamakan ritme kerja. Putri Cahyaningtyas yang berlatarbelakang public relation memiliki ritme yang terstruktur sedangkan Arum Sekar Cendani berasal dari background iklan, terbiasa bekerja tanpa aturan, abstrak. “Ini tantangannya lebih banyak ke ritme kerja sih mbak jadi kayak kalau aku kan orangnya abstrak ya jadi kalau misalkan iklan tuh kayak yaudah idenya gini inside gini trus dia (read: Putri) yang pagerin gabisa itu terlalu jauh. harus terstruktur dulu,” ungkap Cendani.
Mereka juga mengaku sering terlibat dalam kelompok belajar yang sama di beberapa mata kuliah akan tetapi ini pertama kalinya terlibat bersama dalam proyek lomba. Ide awal untuk ikut dalam ajang ini datang dari Cendani yang tanpa ragu mengajak Putri yang ia rasa memiliki capable untuk mengikuti lomba ini. Putri juga menjelaskan, “Jadi tuh gini kita tuh baru pertama kali tergabung dalam proyek dan cuma dua orang kan aku sebelumnya proyeknya banyak di PR sementara dia anaknya iklan banget, mantan ketua deadline (red salah satu unit kegiatan mahasiswa FISIPOL UGM dibidang iklan). Dia anaknya iklan banget sementara aku baru ngeraba-raba di iklan trus aku jadi bawain konsep PR ke dalam sini.”
“Nah kalau aku udah tau imagenya Citra Pariwara biasanya bikin integrated campaign kayak gitu trus aku mikir kalau integrated campaign aku ga sekuat itu jadi kayak, aku lebih mengekorelasikan diriku sebagai idea person trus aku liat cara kerja dia yang terstruktur yaudah iseng aja mau ngga ikut,” pungkas Cendani.
Melalui karya tersebut mereka ingin menyampaikan bahwa karya bagus di negara lain banyak tapi karya-karya Indonesia lahir dari pejuang yang mampu menciptakan karya terbaiknya masing-masing.
(/dbr)