Berdasarkan penuturan Ferry, Desa Wisata Kakilangit merupakan salah satu destinasi rujukan yang ada di Jogja. “Kami menganalisis bagaimana Kakilangit bisa menjadi destinasi rujukan dan berkembang pesat,” tutur Ferry. Menurut hasil penelitian mereka, Desa Wisata Kakilangit masih sangat mendorong pelestarian budaya lokal, mulai dari kesenian, kuliner, hingga konsep pariwisata yang ditawarkan. Selain itu lokasi yang terletak di perbukitan Dlingo, Bantul serta berada dekat dengan ODTW daerah Bantul menjadikan desa wisata tersebut berpotensi cukup baik.
Namun, di sisi lain Ferry dan tim menganalisis kendala pada pengelolaan Desa Wisata Kaki Langit. Mereka menemukan kendala internal seperti infrastruktur penunjang pariwisata yang belum mencukupi, aksesbilitas, dan kepengurusan yang masih bersifat sukarela. Sedangkan, dari faktor eksternal, mereka menemukan banyaknya investor asing, belum adanya angkutan umum yang menjamah Mangunan, dan belum terjalinnya relasi dengan obyek wisata lain di sekitar Kakilangit. “Peran pemuda dalam pengelolaannya masih sangat minim, sehingga pengelola didominasi oleh para orang tua,” imbuh Ferry. Hal tersebut tentu berdampak dan berbeda jika pada proses pengembangan desa wisata lebih dikelola oleh anak-anak muda.
Maka dari itu, dalam penelitiannya, Ferry dan tim juga memberikan rancangan strategi yang pas bagi pengelolaan Desa Wisata Kakilangit tersebut. Pertama, pengadaan art gallery dan event kebudayaan secara rutin. Kedua, peningkatan kualitas produk barang dan jasa yang berbasis kearifan lokal dan juga mencanangkan program pembangunan dengan memperhatikan lingkungan. Ketiga, pengadaan Tourist Information Center (TIC) dan pusat oleh-oleh khas Kakilangit. Keempat, mengembangkan sistem desa pintar berbasis online dan bekerja sama dengan biro perjalanan wisata. Kelima, memberikan program pendidikan khusus bagi generasi muda mendalam sebagai upaya peningkatan SDM di bidang pariwisata yang dilakukan dari dua sisi yaitu kuantitas dan kualitas.
Dengan penelitian tersebut, Ferry dan tim berhasil mendapatkan 932 poin dan mengalahkan kurang lebih 300 tim yang berpartisipasi. Meskipun proses seleksi berjalan secara online, Ferry dan tim mengaku menikmati proses seleksi yang ada. Menurut penuturanya, lomba tersebut merupakan pertama kalinya Ferry dan teman-teman mengikuti lomba LKTI secara online. Pasalnya, Ferry dan tim harus pandai mengatur komunikasi karena keterbatasan aktivitas di luar rumah. Mereka juga berencana mengirim karya untuk lomba yang berbeda tentang integrasi pariwisata di Jogja dalam “New Normal” pada 25 Juli mendatang. “Yang jelas, corona tidak menghalangi kami untuk berkreasi,” pungkasnya. (/Ann)