Pernah merasakan kebimbangan tentang kehidupan setelah kuliah? Gambaran tentang dunia karir yang sering muncul adalah ruang sempit yang penuh persaingan terlampau ketat, jauh dari nyaman, dan ramah. Sebagai mahasiswa, kita juga masih dapat memanjakan diri dengan berbagai kelonggaran. Pola ini akan berubah nantinya di dunia kerja yang lebih menuntut kita untuk jadi lebih produktif.
Lalu, bagaimana cara mempersiapkan diri supaya bisa beradaptasi di dunia kerja? Dina Wahida, psikolog karir dari Career Development Center (CDC) Fisipol, punya beberapa tips yang bisa kita ikuti.
1. Menetapkan Tujuan
Pilihan karir apa yang hendak kita jalani tidak dapat dipisahkan dari tujuan (goal) akhir yang ingin kita capai. Oleh karena itu, diperlukan tujuan yang jelas, terukur dan spesifik. Tujuan yang kita rancang perlu bersifat konkret. Misalnya, sebagai mahasiswa Fisipol, kita dapat memilih karir di sektor pemerintahan seperti kementerian, bekerja di perusahaan media massa, atau lembaga swadaya masyarakat sebagai tujuan yang spesifik dan terukur sesuai kualifikasi pendidikan.
Bersamaan dengan tujuan yang telah dibuat, diperlukan perencanaan alternatif sebagai plan B. Apabila rencana utama tidak tercapai, rencana alternatif akan membantu persiapan serta menghindarkan kita dari kegalauan yang tidak mengarah ke produktivitas.
Setelah tujuan akhir jelas, kita perlu merancang langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam perjalanan menuju goal. Dalam tahap inilah kita juga harus berhati-hati agar tidak membuat rancangan hanya menjadi tulisan. Untuk memotivasi diri, evaluasi diri akan sangat bermanfaat serta membuat kita lebih tegas pada diri sendiri.
2. Manajemen Waktu
Pencapaian target tentunya tidak bisa dilepaskan dari kemampuan waktu kita untuk kegiatan-kegiatan produktif. Dina mengatakan, waktu produktif adalah waktu untuk mengerjakan suatu tugas sesingkat mungkin dengan memanfaatkan waktu luang. Oleh karena itu, ia menyarankan untuk melakukan time breakdown dengan pertanyaan-pertanyaan seperti: “Berapa jam yang aku miliki selama sehari dari bangun tidur sampai tidur lagi?” “Berapa banyak yang kugunakan?” “Berapa banyak waktu luangku?”
Dengan begitu, kita akan dapat dengan baik memetakan waktu kita dalam sehari dan mengarahkannya untuk hal-hal yang produktif. Menurut Dina, “penelitian menunjukkan, dalam sehari orang hanya bisa produktif selama enam jam. Orang bekerja rata-rata enam jam sehari, tapi pasti ada waktu yang terbuang sehingga yang digunakan untuk produktif lebih sedikit.” Maka, Dina mengajak kita untuk memiliki target setiap hari demi membentuk kebiasaan dan etos kerja dalam mencapai tujuan akhir.
3. Menyusun Skala Prioritas
Membiasakan diri dengan dunia kerja berarti membiasakan perencanaan segala aktivitas kita. Pembuatan skala prioritas akan mendukung usaha kita. Pertama, kita perlu mencatat berbagai kewajiban kita, misal mengerjakan tugas, menyelesaikan laporan organisasi, membeli kebutuhan kebersihan kos, serta membuat proposal skripsi.
Kedua, tugas-tugas ini perlu kita beri atribut “Mendesak/Tidak Mendesak” serta “Penting/Tidak Penting”. Ini dapat kita lakukan dengan menggambar sebuah matriks di kertas, kemudian menuliskan aktivitas-aktivitas kita di setiap kotaknya. Jika kita pandai mengatur waktu, maka kebanyakan aktivitas akan kita sebut “Penting” tetapi “tidak mendesak”.
Setelah semuanya dilakukan, langkah ketiga adalah tegas dengan diri sendiri. Lawan terbesar kita adalah rasa malas yang berasal dari kita sendiri. Untuk meningkatkan ketegasan itu, kita bisa memulai dengan berusaha bangun lebih pagi, mengerjakan tugas yang lebih penting, dan memberi reward bila menyelesaikan suatu tugas tepat waktu. Dina menambahkan, kalau selama tiga bulan kita konsisten, kebiasaan dan motivasi niscaya akan terbentuk.
4. Tetap Produktif di Waktu Luang
Waktu luang biasanya kita gunakan buat chatting, main game, hingga nongkrong dengan teman-teman. Ini penting untuk relaksasi. Namun, Dina tetap menyarankan kita untuk mengisi waktu luang dengan aktivitas-aktivitas produktif yang mendukung persiapan karir. Misalnya, membantu orang lain, bekerja part-time, belajar hal-hal baru, merapikan dokumen, dan sebagainya.
5. Memilih Karir
Setelah membiasakan diri untuk mengatur waktu dan produktif, pemilihan karir menjadi langkah persiapan yang terakhir. Sebagai psikolog karir, Dina sering menjumpai klien yang menyatakan tidak betah di pekerjaannya, bukan hanya karena gaji, tetapi juga lingkungannya. Terkait dengan itu, Dina menyarankan untuk mempelajari nilai-nilai suatu perusahaan/instansi. Nilai-nilai ini meliputi persepsi sebuah perusahaan, perilaku dan sikap yang diharapkan perusahaan dari pegawainya, lingkungan kerja, serta etika kerja perusahaan. Dina menggambarkan ini dengan menarik perbedaan antara Yogyakarta dengan kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang yang menuntut banyak waktu di kantor.
Selain itu, hal lain yang harus kita pertimbangkan adalah domisili, insentif, serta beban kerja. Dina menyarankan agar kita bisa memilih tempat yang sesuai dengan sifat dan minat kita. Ia tidak menjanjikan hasil yang ideal, tetapi kita selalu bisa beradaptasi dengan pilihan kita.
Terakhir, dalam membentuk kebiasaan untuk mempersiapkan karir, Dina menyatakan bahwa musuh terbesar yang menghambat kita adalah diri sendiri. Manusia memiliki negative confirmation bias yang membuat kita tidak percaya diri. Oleh karena itu, kita perlu membiasakan berpikir positif meskipun sulit. Yakinlah, selama kita berusaha, everything will be okay. Dina juga mengingatkan,” Hidup adalah proses, tidak bisa dipercepat atau diperlambat. Sabar adalah kuncinya karena kesabaran akan mengalahkan kekuatan apapun.” Yuk, membangun karir mulai hari ini!