Yogyakarta, 13 Oktober 2020‒MAP Corner atau Klub Manajemen Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan diskusi “UU Cipta Kerja, Kontroversi, dan Perlawanan” untuk membahas problematika pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) pada 5 Oktober 2020. Diskusi ini menghadirkan tiga pembicara yang terdiri dari satu perwakilan buruh serta dua pakar hukum dari Fakultas Hukum (FH) UGM.
Perwakilan Federasi Buruh Lintas Pabrik, Jumisih, menjelaskan bahwa pihaknya menolak UU Ciptaker karena menilai UU ini lebih buruk dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dia menjelaskan, pihaknya telah menyandingkan UU Ketenagakerjaan dengan dua draft UU Ciptaker yang tersedia, yakni draft dengan jumlah 1.035 halaman dan draft dengan jumlah 905 halaman. Dia menyoroti pasal terkait pengaturan upah, khususnya Upah Minimum Kabupaten/Kota, yang multitafsir dan berpeluang membuat buruh menerima upah di bawah Upah Miminum Provinsi. “Apabila upahnya kecil, maka upah lembur, THR, dan pesangon juga akan kecil jumlahnya,” tutur Jumisih.
Selain upah, Jumisih juga menyoroti perihal jam kerja. Menurut dia, penambahan jam lembur yang diatur dalam UU Ciptaker berpotensi untuk mengambil lebih banyak waktu produktif pekerja untuk perusahaan atau pabrik. Aturan tersebut, kata dia, mengurangi jam istirahat, jam bersosialisasi, serta waktu bagi buruh dengan keluarganya. Dia juga menambahkan, jam istirahat panjang selama dua bulan bagi buruh, yang sebelumnya diatur di dalam UU Ketenagakerjaan kini dihapuskan di dalam UU Ciptaker. “UU Ciptaker juga berpotensi mempermudah PHK, karena ketentuan sebelumnya terkait PHK, yang harus disetujui hakim melalui pengadilan, kini dihapuskan,” kata Jumisih.
“Sering kali negara mengelola isu secara mistifikasi, artinya menegaskan bahwa pemerintah merupakan orang baik yang ingin menyejehtarakan rakyat,” jelas Zainal Arifin Mochtar, Dosen Hukum Tata Negara, FH, UGM. Dia menjelaskan, partisipasi merupakan kunci untuk membangun kepercayaan publik. Ketidakpercayaan publik, kata dia, mestinya dipahami dengan baik. Sayangnya, tambah Zainal, di dalam proses penyusunan UU CIptaker pemerintah justru menunjukkan bahwa unsur transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi tidak dikelola dengan baik. Menurut dia, cara pemerintah mengesahkan UU ini secara cepat menyebabkan ketidakpercayaan publik.
“Masukan masyarakat dipilih-pilih, hanya masukan dari mereka yang setuju dengan UU Omnibus Law yang didengar dan dilibatkan, sedangkan yang menolak, tidak didengar,” tegas Zainal. Dia menemukan kesalahan substantif, teknis, dan paradigma dalam UU Ciptaker. Menurut Zainal, ada paradigma awal yang keliru, misalnya soal penyederhanaan regulasi. Dia mengatakan bahwa paradigma tersebut keliru, karena omnibus justru akan mempergemuk regulasi. Sebab, ada 476 PP dan Perpres yang harus dibuat setelah pengesahan UU Ciptaker. Dia juga menyebut bahwa negara lah yang harus membaca dan menjelaskan UU tersebut kepada rakyat, bukan rakyat yang harus membaca dan mengerti isi UU tersebut secara keseluruhan.
Senada dengan Zainal, Agung Wardana, Dosen Hukum Lingkungan, FH UGM juga menjelaskan, pengesahan UU Ciptaker ini menunjukkan bahwa arah hukum dan pembangunan hanya bermakna ekonomi. Dia menilai, UU Ciptaker merupakan kristalisasi dari kepentingan korporasi besar, baik pertambangan maupun perkebunan, yang pemain-pemainnya bisa ada di dalam maupun di luar kekuasaan pemerintahan. Menurut dia, dua usaha tersebut akan semakin mendapat legitimasi dari pemerintah setelah UU Ciptaker disahkan. “Penghancuran terhadap hutan akan menjadi salah satu dampak yang mengkhawatirkan bagi kita,” tegas Agung.
“Selama ini negara dan kapital berupaya melemahkan safeguard lingkungan di Indonesia dalam rangka mempercepat laju investasi,” terang Agung. Dia menjelaskan bahwa UU Ciptaker merupakan upaya sistematis untuk memblok para penjaga lingkungan demi kepentingan investasi. Agung menambahkan, UU Ciptaker juga menghapus kewajiban tata ruang, yakni kewajiban menyediakan minimal 30% luas daerah untuk ditetapkan menjadi kawasan hutan lindung. Dampaknya, terjadi perluasan areal bagi ekspansi modal, terutama perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan. Dia menambahkan, selama ini kawasan lindung merupakan salah satu kawasan yang mengunci ekspansi usaha tambang dan perkebunan kelapa sawit. Agung mengatakan bahwa saat ini negara, secara inherent, telah menjadi alat dari kelas penguasa sehingga rakyat perlu melahirkan alternatif yang lebih sistematis dan ideologis.
Salah satu peserta, Ahmad Nur Alamsyah, bertanya tentang indikator inkonstitusional pada UU Ciptaker. Zainal menjelaskan, ada dua ukuran inkonstitusionalitas, yakni secara formil dan secara materiil. Secara formil artinya, DPR dan pemerintah tidak boleh membentuk undang-undang secara sembarangan, melainkan harus mengikuti aturan konstitusi yang melibatkan partisipasi dan sebagainya. “Kedua, inkonstitusionalitas secara materiil, artinya bunyi-bunyi pasal di dalam UU tersebut.” (/NIF)