“Dalam kasus ini sebenarnya terjadi denormalisasi toleransi karena ada perubahan sosio-ekonomi di masyarakat. Yang tadinya isu identitas dan sektarian ini tidak ada dan masyarakat hidup dalam kebersamaan, berubah ketika muncul rencana memperketat perbatasan dan ekspor-impor di pelabuhan Teluk Nibung” tuturnya.
Kemudian Ahnaf menjelaskan bagaimana ekskalasi konflik tejadi dalam kasus tersebut, terutama dalam penyebaran informasi. Persepsi masyaraat terkait penistaan dalam kasus itu merupakan hasil rekayasa atau pelintiran yang bermaksud kebencian atau hate spin. Misalnya ada pelintiran informasi dimana kata-kata “keberatan terhadap suara Adzan yang terlalu kencang” dipelintir menjadi “melarang suara Adzan”. Lalu juga terdapat rumor-rumor yang memercikan kebencian sehingga orang yang mendengar tidak berfikir untuk melakukan verifikasi. Selain itu menurutnya juga isu ini diperluas hingga ke cakupan yang sebenarnya tidak berkorelasi secara langsung, seperti tutur kata, kehidupan sosial dan identitas etnis Meliana.
Berbeda dengan Ahnaf yang menganalisis kasus tersebut secara detail, Roy Murtadho dalam pemaparannya merasa bahwa kasus ini tidak bisa dilihat sebagai fenomena yang berdiri sendiri. Menurutnya dalam ranah wacana pun sebenarnya sudah bermasalah, banyak pengandaian yang menempatkan mayoritas sebagai pengayom, dan minoritas sebagai pemberi hormat. Pengandaian seperti ini memunculkan relasi patron-klien antara kelompok mayoritas dan minoritas. “Bahkan dalam tataran konsep penistaan dan definisi agama itu sendiri harus didekonstruksi, karena memiliki bias terhadap agama-agama samawi, sehingga memungkinkan adanya persekusi terhadap penghayat kepercayaan” tuturnya. Terlebih dalam kasus pasal karet ini bisa dibilang sulit untuk dimenangkan oleh minoritas, karena ada pressure dari golongan yang kuat sehingga keputusan hukumnya menjadi bias.
Lebih lanjut ia membahas bahwa cara berpikir tersebut memang sudah dibentuk oleh sel-sel politik yang telah ada atas dasar kepentingan politik dan modal yang besar. Cara beripikir ini yang kemudian memungkinkan hate spin untuk terjadi. Untuk melawannya, menurut roy para kelompok yang menyebut dirinya “demokrat” harus masuk dan merebut ruang-ruang diskusi publik. “kadang kalau kita diskusi ya ketemunya itu-itu lagi, lah dia udah ngerti soal toleransi dan demokrasi apalagi yang harus diajarin?” ucapnya. Roy pun mengamini bahwa politik identitas tidak bisa dihindari dalam demokrasi namun ada perbedaan antara penggunaan politik identitas yang beradab dan tidak beradab.
Dari segi audiens, diskusi MAP Corner kali ini dipenuhi oleh sekitar 40 peseta yang antusias mengikuti berjalannya diskusi. Salah satunya Sophia Marie, seorang WNI Jerman yang sedang menempuh pendidikan S3 di jurusan antropologi, Universitas Cambridge. Menurutnya diskusi ini sangat menarik karena berkaitan dengan disertasi yang sedang disusunnya, yaitu penilitian terhadap gerakan kelompok aktivis Nahdlatul Ulama (NU) progresif seperti Gus Roy dari segi etika dan pendidikan mereka. “Menurut saya memang isu ini lebih cenderung ke dalam permasalahan lokal dibanding konflik antar agama sehingga seharusnya bisa dibicarakan lewat mediasi, namun sangat disayangkan justru menjadi eksplosif karena hate spin” ujarnya. (AAF)