Apakah kamu adalah salah satu orang yang masih berpikir pemimpin pasti laki-laki? Mulai sekarang hentikan pemikiran cupet itu. Memang, sebagian besar masyarakat masih mengkonstruksikan seorang pemimpin sebagai sosok yang tegas, cerdas, dan gagah. Dimana sifat-sifat tersebut selalu dikontekskan ada dalam diri laki-laki. Sehingga perempuan yang menduduki singgasana kepemimpinan masih sangat dianggap tabu.
Srikandi Lintas Iman, Jemaat Ahmadiyah Indonesia, dan Departemen Sosiologi melalui seminar yang bertajuk “Memaknai Ulang Peran Dan Kepemimpinan Perempuan” mencoba mendekonstruksi pemikiran-pemikiran tersebut. Bertempat di Gedung BB Lantai 4 Fisipol UGM (25/11), acara ini menghadirkan Dr. Siti Aisyah, M.Pd selaku Pengurus Pusat Lajnah Imailah Jemaat Ahmadiyah Indonesia sebagai keynote speech. Selain itu acara ini juga dihadiri oleh Dr. Nina Mariani Noor selaku Ketua Lajnah Imailah Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Dr. Pdt. Murtini selaku Pendeta LPPS GJK-GKI SW, dan Alifatul Arifiati selaku Direktur Fahmina Institute sebagai pembicara.
Acara yang diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Kekerasan Perempuan ini dibuka oleh Hakimul Ihwan, PhD selaku perwakilan Departemen Sosiologi. Dalam sambutannya, Hakimul menekankan bahwa isu kepemimpinan masih harus ditegaskan di Indonesia. Oleh karena itu, diskusi akademik seperti ini menjadi penting untuk digalakkan.
Hakimul juga menceritakan bahwa sebenarnya kepemimpinan perempuan sudah terjadi sejak zaman Nabi Muhammad. “Ratu Bilqis adalah salah satu pemimpin perempuan yang ada di zaman Rosul. Bahkan, ia juga pemimpin yang sangat demokratis, buktinya dalam keputusannya ia selalu mengumpulkan panglima perangnya,” paparnya.
Hal ini juga dibenarkan oleh Siti dalam pemaparannya tentang kepemimpinan perempuan dalam perspektif Islam. “Islam sangat menghargai peran perempuan. Bahkan setiap agama memiliki perspektif yang sama, tidak ada yang merendahkan perempuan. Yang merendahkan perempuan adalah orang yang tidak tahu agama,” jelasnya.
Bahkan Siti mengungkapkan bahwa perempuan di zaman Rosul juga aktif terlibat dalam perang. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak pernah mengukung perempuan. “Islam sangat mendukung bakat kemampuan perempuan. Namun, bagi ibu rumah tangga jangan minder karena merawat keluarga adalah hal yang penting juga,” ungkap Siti.
Dalam pemaparan sesi kedua, Alifatul membeberkan bahwa perempuan sudah mulai menunjukkan keberaniannya dalam memimpin sebuah pesantren. Padahal dalam tradisi yang ada, kepemimpinan di dunia pesantren selalu diduduki oleh laki-laki. “Dalam pesantren umumnya kyai (laki-laki) adalah yang mengurusi sebuah santri baik laki-laki maupun perempuan. Sedangkan Bu Nyai hanya bagian untuk mengurusi santri perempuan,” jelasnya.
Alifatul memberikan tiga contoh perempuan hebat yang mampu mendobrak tradisi tersebut. Pertama, Masriyah Amva yang mampu memimpin 1400 santri laki-laki dan perempuan. Bahkan perempuan yang satu ini juga berhasil menerbitkan 17 buku tentang gejolak dan pengalamannya dalam memimpin sebuah pesantren. Kedua, Siti Fatimah Tuzzarah sebagai inisiator Bahtsul Masail santri putri di Cirebon. Perempuan ini memang tidak memimpin sebuah pesantran, namun ia mampu menjadi mushahih Bahtsul Masail pertama. Dimana dalam tradisinya, Bahtsul Masail adalah otoritas laki-laki. Ketiga, Afwah Mumtazah sebagai pengasuh pesantren sekaligus mushahih Bahtsul Masail.
Di tradisi Islam Ahmadiyah, Nina menjelaskan bahwa kepemimpinan perempuan aktif dilatih dalam Lajnah Imailah sebagai organisasi internal Ahmadiyah. “Di sini kita banyak melakukan kegiatan, dari donor mata sampai donor darah,” jelasnya. Dalam tradisi ini, kepemimpinan perempuan mengarah pada bagaimana mereka memperjuangkan agama sesuai dengan bidangnya. “Ada salah satu jamaah Ahmadiyah yang mengabdi sebagai dokter di Gunung kidul. Padahal dia juga bisa saja mengambil tugas di Jakarta yang menawarkan gaji yang tinggi,” jelas Nina.
Sedangan dalam tradisi Kristen, Murtini menceritakan pengalamannya sebagai seorang pendeta perempuan. Dimana di tahun 1949 sampai 1956, usulan untuk pendeta perempuan masih ditolak dalam sidang Sinode Kristen Jawa. “Di tahun 1991, usulan pendeta perempuan masih ditolak, tetapi perempuan sudah boleh menjadi pelayan majelis gereja,” jelasnya. Hingga pada akhirnya di tahun 2000, Murtini menjadi salah satu pelopor pendeta perempuan di Indonesia.