Melihat Kondisi Kesejahteraan Buruh Gendong di Yogyakarta

Yogyakarta, 4 Desember 2021─Keluarga Mahasiswa Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) FISIPOL UGM menggelar webinar Saba Desa #3 melalui Zoom Meeting pada Sabtu (4/12). Topik yang diangkat dalam webinar adalah “Tanda Tanya Sejahtera: Sejauh Mana Gerakan Gendongan Mampu Bertahan?”. Pada kesempatan ini, KAPSTRA menghadirkan pembicara M. Berkah Gamulya (Inisiator Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan Jogja), Isah Ponirah (Pengurus Paguyuban Sayukrukun Buruh Gendong), dan Astrid Ningtyas F. (Alumni PsDK 2017).

Diskusi diawali dengan menampilkan video berisi wawancara para perempuan manula yang bekerja sebagai buruh gendong. Dalam video tersebut, diketahui para buruh gendong tidak mendapatkan upah yang sesuai, terutama saat pandemi mewabah. Kondisi yang memprihatinkan ini membuat kesejahteraan mereka patut dipertanyakan. Hal ini yang mendorong hadirnya komunitas Dapur Umum Buruh Gendong Perempuan Jogja sebagai uluran tangan yang mampu meringankan beban buruh gendong. 

“Kami adalah bagian kecil dari gerakan rakyat bantu rakyat yang terjadi saat pandemi COVID-19 di Indonesia ketika pemerintah tidak melaksanakan kewajibannya, yaitu jaminan hidup yang tertuang dalam UU Karantina Sosial,” ucap Berkah, Inisiator Dapur Umum.

Menurut Berkah, para buruh gendong tidak mempunyai privilege saat pandemi di mana mereka tidak bisa berpenghasilan jika tidak keluar rumah. Mereka adalah kelompok marginal yang dieksploitasi oleh pemerintah setempat sebagai bagian dari kearifan lokal, tetapi tidak dijamin kesejahteraanya. Selama puluhan tahun tidak ada patokan tarif, mereka hanya menerima upah 2-5 ribu setiap gendongan.

Beban kerja yang berat dengan upah yang minim diperparah dengan adanya pandemi. Bahkan, bisa saja mereka tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali meskipun sudah menghabiskan biaya transportasi untuk datang ke pasar. Kendati demikian, mereka sedikit terbantu dengan kehadiran komunitas Dapur Umum yang rutin membagikan nasi makan siang.

“Saat awal awal pandemi itu blas (sama sekali) buruh gendong tidak bekerja selama hampir dua bulan, kami tetap berangkat karena di rumah tidak ada yang bekerja, Alhamdulillah dapat sembako dan sudah setahun ini ada Dapur Umum yang sangat membantu sekali untuk saya dan teman-teman,” ucap Isah, Pengurus Paguyuban Sayukrukun Buruh Gendong.

Sementara, Astrid melihat buruh gendong dalam perspektif feminisme. Sebagian besar buruh gendong tidak mempunyai jaring keamanan sosial seperti bantuan kartu kesehatan. Padahal, selayaknya pekerja pada umumnya, mereka berhak mendapat BPJS atau jaminan kesehatan lainnya. Di sini, pemerintah perlu melihat dan mengkaji ulang kondisi kelompok marginal untuk menyusun kebijakan tentang hak-hak yang harus mereka terima.

“Dalam konteks buruh gendong, adanya Dapur Umum itu salah satu kemajuan dari gerakan feminis di Indonesia, tujuannya adalah persatuan komunitas untuk membantu keberlangsungan ekonomi dan juga memberikan kemudahan bagi para buruh,” tutur Astrid. (/Wfr)