“Eropa berkepentingan untuk mendorong perkembangan ekonomi mereka pascapandemi, namun proses itu tidak bisa dilakukan kalau tidak ada ketercukupan energi. Celakanya, suplai energi itu sebagian besar ditopang oleh Rusia dan Norwegia,” tutur Nanang.
Senada, peneliti CitRes, Tadzkia Nurshafira juga menilai bahwa daya tawar diplomatik Eropa menjadi sangat lemah dalam invasi Rusia atas Ukraina, karena tingkat ketergantungan energi yang tinggi terhadap gas dari Rusia. Menurut Tadzkia, secara garis besar, krisis di Ukraina menunjukkan perbedaan cara mendefinisikan gas. Gas dianggap sebagai alat politik yang berguna untuk meningkatkan daya tawar Rusia dalam konflik Ukraina. Tapi di saat yang sama di UE, terdapat dualisme dalam memandang gas.
“Gas yang awalnya dianggap sebagai solusi yang menjamin energi UE, sekarang dianggap sebagai sumber masalah,” jelas Tadzkia.
Dosen DPP lainnya, Hasrul Hanif, menyebut bahwa proses transisi energi sebenarnya proses yang sangat politis dalam konteks dunia yang sangat interdependen. Menurut Hasrul, dalam beberapa kasus, invasi bertujuan untuk menjaga atau mengamankan suplai kepentingan energi domestik. Ada negara yang memanfaatkan sumber daya energi untuk kepentingan politik luar negeri atau geopolitik mereka. Salah satu strategi negara tersebut ialah memanipulasi aliran sumber daya energi.
“Rusia sudah cukup lama memainkan perang gas dalam menjaga loyalitas negara-negara bekas federasi Uni Soviet dan cenderung akan memberikan diskon ke negara-negara yang pro Rusia, misalnya Belarusia dan Armenia,” terang Hasrul.
Kuliah umum ini diikuti oleh lebih dari seratus peserta melalui ruang virtual Zoom Meeting dan disiarkan melalui kanal YouTube DPP Fisipol UGM. Siaran kuliah umum ini masih dapat disimak melalui tautan berikut. (/NIF)