Yogyakarta, 28 Juli 2020—Hari Raya Idul Adha yang identik dengan ibadah kurban tinggal menghitung hari. Ternyata, selain mengandung dimensi spiritual, ibadah kurban juga mengandung dimensi sosial-ekonomi. Untuk mengulik lebih dalam dimensi sosial-ekonomi yang melekat pada ibadah kurban, Jamaah Muslim Fisipol (JMF) bekerja sama dengan Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (KAPSTRA) UGM mengangkat topik ini dalam Webinar Andalusia 1441 H.
Tentu saja dalam melihat ibadah kurban dari dimensi ekonomi, khususnya sebagai instrumen penggerak ekonomi masyarakat, peran pihak ketiga tidak dapat diabaikan. Di sini, pihak ketiga tersebut dipegang oleh lembaga amil zakat, salah satunya Dompet Dhuafa. Bambang Edi Prasetyo, selaku Pimpinan Cabang Dompet Dhuafa Yogyakarta, hadir dalam webinar bertajuk “Dampak Berkurban bagi Masyarakat” untuk membicarakan isu tersebut.
Badan amil zakat sendiri pada dasarnya bertugas menghimpun dana infak, sedekah, dan wakaf, dan mendistribusikan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat dengan terencana. Dalam konteks dimensi ekonomi, badan amil zakat—dalam hal ini Dompet Dhuafa—berusaha agar dana yang didistribusikan tadi tidak hanya digunakan untuk keperluan konsumsi saja, tetapi juga produksi. Artinya, dana-dana tersebut digunakan oleh sang penerima sebagai modal usaha sehingga ia bisa menjadi penggerak ekonomi.
Dalam konteks kurban, dana zakat yang terkumpul diberikan kepada kelompok binaan untuk pengembangbiakan hewan ternak, khususnya hewan kurban. Contohnya program Kampung Ternak Nusantara yang diusung Dompet Dhuafa. Di sini, para kelompok binaan tidak hanya dibiarkan sekadar beternak, tetapi juga diajarkan bagaimana beternak yang produktif agar bisa menjadi penghasilan. Nantinya, hewan-hewan ternak ini lah yang akan disalurkan untuk ibadah kurban.
Tentunya agar program pengelolaan peternakan seperti Kampung Ternak Nusantara dapat memberikan output yang maksimal, diperlukan pengelolaan yang baik. Selain itu, pendampingan juga harus dilakukan. Bambang menjelaskan, pembinaan ini berfungsi untuk meluruskan ilmu-ilmu peternakan yang diwariskan secara turun-temurun tetapi tidak ada kajian ilmiahnya.
Bambang pun memaparkan angka-angka jumlah penduduk muslim di Indonesia. Angka yang cukup besar tersebut, kata Bambang, secara langsung berhubungan dengan keuntungan yang didapatkan oleh para kelompok binaan penyalur hewan kurban. Hal ini, lebih jauh menunjukkan bahwa potensi kegiatan kurban untuk mendorong ekonomi masyarakat juga besar. Bahkan, dalam kondisi pandemi sekarang ini, jumlah permintaan kurban secara nasional tidak menurun.
Sementara itu, dimensi sosial dari manfaat berkurban lebih banyak dipaparkan dari sudut pandang sosiologi. Pemaparan ini diberikan oleh Hakimul Ikhwan, Ph.D, Dosen Sosiologi Fisipol UGM.
Ibadah kurban sendiri merupakan refleksi dari agama dan kemanusiaan. Jika ditelisik dari sejarahnya, ibadah kurban sama sekali tidak mereproduksi peradaban yang berdarah. Dengan kata lain, sejak anjuran berkurban hewan dikeluarkan, itu juga untuk menghentikan keberlanjutan manusia membunuh manusia lainnya.
Hakim menyatakan bahwa dimensi sosial dalam manfaat berkurban itu besar sekali. Sebab, sesuai dengan ucapan Ghandi, “Kalau kamu ingin menemukan siapa dirimu, maka tenggelamkan lah dirimu dalam membantu orang lain.” Berkurban itu sendiri menguatkan kemanusiaan, dan ternyata, kesalehan yang dicapai bukan hanya kesalehan individual, tapi juga kesalehan sosial.
Hakim mencontohkan ketika daging kurban dibagikan. Penyaluran daging kurban itu tidak pandang bulu, selama seseorang dianggap membutuhkan maka akan diberikan. Hal ini lah yang menurut Hakim menunjukkan bahwa praktik sosial dalam berkurban itu besar.
Namun, ada yang menyatakan bahwa fenomena berkurban tidak ada kaitannya dengan kesejahteraan. Sehingga, fenomena kurban akan terus meningkat walaupun sedang krisis ekonomi sekalipun. Baik Hakim maupun Bambang juga setuju dengan pernyataan tersebut. Hakim menyinggung kebiasaan masyarakat yang sering membagikan takjil pada saat Bulan Ramadan dan makan siang saat Salat Jumat ketika membahas isu ini. Hal itu, menurut Hakim, menunjukkan bahwa meski kondisi ekonomi sedang buruk, masyarakat tetap mau berbagi untuk sesuatu yg bersifat komunal.
Bambang pun setuju dengan jawaban Hakim. Ia sekali lagi memaparkan data Dompet Dhuafa yang justru menunjukkan peningkatan penghimpunan dana zakat dan infak di tengah pandemi. Bagi Bambang, ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki karakter filantropis dan suka tolong menolong.
Dari penjelasan kedua pembicara, moderator—Luthfia Nurul Atikah, mahasiswa Departemen Hubungan Internasional—menyimpulkan bahwa instrumen kurban bisa menjadi penggerak ekonomi masyarakat. “Oleh sebab itu, pengelolaan kurban bisa diupayakan dengan lebih baik agar hasilnya lebih maksimal,” ucap Luthfia menutup webinar pukul 16.45 WIB. (/hfz)