Center for Digital Society (CfDS) menyelenggarakan Digital Future Discussion (DIFUSSION) bertajuk Future Technology. Bertempat di Digital Library Cafe (Digilib) Fakultas Ilmu Sosial (Fisipol) UGM, kegiatan ini menghadirkan tiga peneliti CfDS yaitu Datu Darmajiwo (Research Assistant CfDS), Faiz Rahman (Researcher CfDS), dan Habibah Hermandi ( Research Associate CfDS) pada Kamis, (22/3).
Dibalut melalui diskusi secara interaktif, kegiatan ini dihadiri oleh lebih dari 40 peserta Menariknya, peserta diskusi yang hadir bukan hanya dari mahasiwa Fisipol namun juga mahasiswa lintas fakultas di UGM, seperti Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) dan Vokasi. Melalui lingkungan diskusi yang santai dan fleksibel, para perserta Difusion diajak untuk beropini dan menanggapi secara langsung tiga isu yang dibahas dalam tema Future Technology. Tiga tema yang dibahas berupa kewarganegaraan di masa depan dan dilema etisnya, kemunculan teknologi 3D printing, dan ulasan buku The Industries of The Future karya Alec Ross.
Materi diskusi yang pertama dibahas oleh Datu Darmajiwo mengenai Kewarganegaraan dan dilema etisnya. Diawali dengan memutar cuplikan film seri Black Mirror, Datu memberikan gambaran akan realisasi sistem kredit sosial (Social Credit System) yang menggabungkan teknologi big data, pemerintahan digital, dan sistem algoritma yang kompleks. “Teknologi SCS (Social Credit System) merupakan hasil dari perkembangan-perkembangan teknologi yang sudah ada pada saat ini. Namun, sistem algoritma yang kompleks mampu memetakan preferensi individual sosial, sampai dengan hubungan relasi sosial dari setiap individu,” jelas Datu. Sistem SCS yang sudah mulai dikembangkan di Cina, menurut Datu, menjadi salah satu perhatian utama bagaimana ranah privasi dan publik menjadi kabur. Bagi negara -negara demokrasi tentunya hal ini juga dapat mengancam nilai dasar demokrasi. Hal ini juga sekaligus menjadi benang merah diskusi dari dilema realisasi teknologi SCS di masa depan.
Selanjutnya, diskusi dipantik oleh Faiz Rahman, Researcher CFDS yang membahas mengenai Teknologi 3D Printing. Pembahasan yang menjadi perhatian dalam topik tersebut, berupa dilema dari aspek tenaga kerja “robotisasi” dari implementasi teknologi 3D printing dan batasan-batasan hukum kekayaan intelektual dari perkembangan teknologi tersebut. “Teknologi 3D memberikan kesempatan pengembangan inovasi dan teknologi secara lebih masif kepada setiap individual. Namun, mekanisme regulasi yang mewadahi perkembangan tersebut, harus dibuat secara komprehensif dan harus mampu mengakomodasi penggunaan teknologi 3D printing” ujar Faiz. Menurutnya, adanya globalisasi juga memberikan penetrasi teknologi yang semakin luas dan cepat di berbagai negara.
Materi yang terakhir berupa ulasan mengenai buku The Industries of The Future karya Alec Ross oleh Habibah Hermandi. “Ross mampu menceritakan dua sisi cerita mengenai perkembangan teknologi. Menariknya, Ross melihat adanya kesempatan yang besar bagi negara-negara emerging countries untuk melesat menjadi winning side dari dampak perkembangan teknologi di masa mendatang” ungkap Habibah. Ia menambahkan bahwa dalam bukunya, Ross memandang bahwa untuk mempersiapakan teknologi masa depan bukan bermakna untuk semata-mata mengincar bidang yang berkaitan langsung dalam teknologi seperti bidang STEM-Science, Technology, Enginering and Mathematic, namun harus pula ditekankan nilai-nilai kekeluargaan yang lebih dalam untuk memperkuat nilai kemanusiaan dalam menghadapinya. “Sayangnya, dalam menarasikan industri dan teknologi masa depan, Ross tidak menganalisis aspek-aspek kultural historis terhadap negara-negara yang dibicarakanya,” tambah Habibah. (/fdr)