Bincang ASEAN keempat dengan tema Pasca IORA: Kerjasama Maritim dan Posisi Indonesia di ASEAN diadakan pada tanggal 31 Maret 2017 bertempat di Gedung BC Ruang 207. Bincang ASEAN kali ini menghadirkan Dedi Dinarto, S.IP (Peneliti ASEAN Studies Center) sebagai pembicara.
Dedi (sapaan akrab) memantik diskusi dengan menjelaskan sebuah fenomena kontestasi perdebatan yang terjadi antara beliau, Ibrahim Almuttaqi (Direktur ASEAN Program Habibie Center), dan seorang mahasiswa PhD Bruce David Willis yang mengkaji soal sektor maritim di Indonesia.
Diawal diskusi, beliau menjelaskan bahwa IORA merupakan Indian Ocean Rim Association, sebuah rezim yang sudah terbentuk sejak tahun 1997 dan diinisiasi oleh beberapa negara di Samudera Hindia termasuk Australia, Indonesia, Singapura, Malaysia, Bangladesh, India, dan lain-lain. Di IORA kerjasama yang terbangun tidak sesolid ASEAN karena forum ini dibentuk oleh foreign minister (menteri luar negeri) yang fungsinya sebagai ruang untuk berbincang-bincang mengenai keserumpunan dan kesatuan budaya yang negara-negara tersebut bawa dari logika bahwa dulu Samudera Hindia menjadi penghubung.
IORA menunjukkan posisi yang solid di Indonesia ketika Indonesia secara resmi memegang keketuaan IORA periode 2015 – 2017 dan menggelar pertemuan pertama antar pemimpin negara anggota di Jakarta Convention Center (5-7 Maret 2017). Indonesia juga merupakan satu-satunya ketua IORA yang menetapkan tema selama masa keketuaan, yaitu “Strengthening Maritime Cooperation in a Peaceful and Stable Indian Ocean”.
Dalam KTT IORA yang digelar pada tanggal 5-7 Maret 2017, menghasilkan sebuah Action Plan (Rencana Aksi) 2017-2021 guna mengimplementasikan berbagai prioritas yang terkandung di dalam Jakarta Concord. Action Plan ini menjabarkan rencana kegiatan terkait prioritas-prioritas tersebut untuk tahun-tahun mendatang, dan terdiri atas inisiatif-inisiatif jangka pendek, menengah, dan panjang. Selain penandatanganan Jakarta Concord, negara-negara IORA menyetujui sebuah Decalaration on Preventing and Countering Terrorism and Violent Extremism.
“Berdasar hasil tersebut perlu dikaji dan dibahas peran Indonesia di IORA. Perdebatan yang muncul ialah ketika pertama kali Ibrahim Almuttaqi menulis soal keterlibatan Indonesia dan potensi kerjasama yang bisa dibentuk di IORA,” jelas Dedi.
Menurut Ibrahim keterlibatan Indonesia di IORA sebenarnya berkesinambungan dengan politik luar negeri bahwa pemerintah harus mengekspansi serta membuka peluang investasi ke Indonesia dengan bekerjasama dengan negara-negara anggota IORA. Ibrahim sangat solid berargumen bahwa IORA hanyalah sebuah forum kepentingan bisnis yang dibarengi dengan business summit. Menurut Ibrahim, tak lebih forum ini berfungsi untuk mempertemukan pelaku-pelaku bisnis dan keterlibatan Indonesia di IORA simply untuk kepentingan ekonomi.
“Ketika membaca argumen Ibrahim, saya juga sedang mengerjakan tulisan yang sama dan ternyata kami memiliki perspektif yang sama. Kemudian saya berpikir perspektif lain, mengaitkan keterlibatan Indonesia di IORA dengan kajian yang saya tekuni selama ini yaitu ASEAN. Bahwa jangan-jangan keterlibatan Indonesia di IORA mengisyaratkan atau menandakan bahwa keterlibatan Indonesia di ASEAN sudah mulai stagnan,” ungkap Dedi.
Argumen yang dimunculkan Dedi ketika itu adalah IORA memang berpotensi secara ekonomi, akan tetapi apa yang terjadi di negara tetangga? What happen in ASEAN? Pertanyaan ini menjadi perhatian Dedi yang kemudian menghasilkan argumen bahwa mengapa kemudian IORA ini menjadi penting bagi Indonesia?
Forum multilateral yaitu ASEAN (1976-2017), bagi Indonesia sudah mencapai masa dimana merasa tidak lagi mampu mengurusi persoalan di ASEAN. Contohnya, kasus Laut Cina Selatan ketika tahun 2012 Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa melakukan settle diplomacy: berpindah-pindah negara dalam waktu beberapa minggu untuk meyakinkan negara-negara ASEAN lainnya bahwa isu Laut Cina Selatan ini penting. Namun pada saat dibahas di Kamboja gagal mencapai resolusi serta tidak ada kesepakatan terhadap konflik tersebut. Martina Talegawa kembali melakukan diplomasi informal dan ketika Laos menjadi tuan rumah ASEAN Summit lagi-lagi tidak ada kesepakatan mengenai isu Laut Cina justru yang dibahas adalah kerjasama ekonomi mengenai bagaimana Cina bisa masuk ke ASEAN dan bisa berinvestasi di Sungai Mekong.
“Orang semakin kaget ketika Indonesia sangat serius mengurusi IORA, apa yang terjadi? Jangan-jangan selama ini Indonesia berharap bahwa ASEAN bisa menjadi penopang dari manifestasi politik luar negeri dan ternyata tidak bisa,” jelas Dedi.
Menurut David Willis mahasiswa PhD, Indonesia pindah dari ASEAN tapi sebenarnya sebagai negara, ia tidak berurusan dengan forum multilateral dan tidak berurusan resmi dengan IORA. Indonesia hanya menggunakan forum itu untuk kepentingan pragmatis (bilateral).
Pendapat tersebut tidak disetujui oleh Dedi, menurutnya bicara soal bilateral cooperation apa yang bisa diharapkan Indonesia dari negara-negara di IORA? Australia-Indonesia sudah memiliki bilateral relations. Kemudian dengan India, India tidak punya concern yang begitu spesifik dengan Indonesia, meskipun India punya kebijakan politik luar negeri yang menghadap ke timur artinya India melihat Asia Tenggara sebagai sebuah kawasan yang penting. Apalagi dengan negara-negara lain seperti Srilanka dan Afrika Selatan.
Akhirnya perdebatan itu dirangkum kembali oleh Ibrahim, dari perdebatan ini Ibrahim mengutip tulisan David Willis bahwa inti dari perdebatan ini adalah ASEAN masih menjadi corner stone of Indonesia policy, ASEAN masih menjadi aspek penting dari politik luar negeri Indonesia. Bahkan jika ASEAN krisis dampaknya akan lebih terasa bagi Indonesia ketimbang IORA. Akan tetapi mengapa Indonesia lebih peduli kepada IORA daripada ASEAN? Kita bisa lacak bahwa IORA membuka potensi baru dan dapat menguntungkan Indonesia. (/dbr)