Melihat Potensi Bumdes dalam masa Krisis

Yogyakarta, 11 September 2020—Sharing Session yang diselenggarakan Creative Hub Fisipol UGM pada Jumat (11/9) menghadirkan Rudy Suryanto, pakar BUMDES sekaligus dosen UMY, sebagai narasumber. Melalui platform Google Meet, acara ini mengangkat topik diskusi “Unpopular Business: BUMDES dan Cara Bertahan di Masa Kritis”. Matahari Farransahat, Direktur C-Hub Fisipol UGM, menjadi moderator pada kesempatan kali ini

Perkembangan Bumdes meningkat drastis setiap tahunnya, hingga saat ini tercatat sekitar 51.149 Bumdes yang terbentuk. Dari pendataan bulan lalu, sebanyak 39.654 teregistrasi ulang, artinya ada beberapa Bumdes yang tidak aktif setelah berdiri. Namun, dari angka tersebut ternyata ada lebih dari 10 ribu Bumdes yang terus bergerak di masa pandemi. Rudi menilai ada beberapa faktor yang membedakan suatu Bumdes masih/tidak bergerak. Pertama, dukungan penuh dari pemerintah desa dan partisipasi atau kekompakan warga. “Satu-satunya cara melewati krisis yaitu dengan kebersamaan, memobilisasi solidaritas sosial yang kemudian menjadi modal finansial, bagaimana kegotongroyongan digunakan untuk melewati krisis (pandemi),” tutur Rudy.

Kedua, bagaimana Bumdes menyasar pasar untuk tetap bertahan dan berkembang usahanya di masa pandemi. Dalam hal ini, respon Bumdes untuk menghadapi situasi sulit berbeda-beda, salah satunya disebabkan karena letak wilayah yang berada di desa atau dekat kota. Rudy melihat bahwa ada fenomena yang menarik dimana pandemi memberi momentum bagi desa untuk kembali memainkan peran penting. Ketiga, kunci pengembangan produk yaitu pemakaian teknologi digital agar saling keterhubungan antar-desa di berbagai daerah. Perkembangan digital saat ini mendorong adanya potensi pasar yang tidak terbatas dalam ruang dan waktu.

Dari beberapa data, Rudy mengungkapkan meskipun terjadi penurunan pendapatan, sebenarnya Indonesia secara ekonomi tidak terlalu buruk dibanding negara lain karena kita memiliki banyak potensi di desa, yaitu 20 ribu potensi perkebunan, 12 ribu potensi perikanan, 65 ribu potensi energi terbarukan, dsb. Terkait data tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa sektor pangan, dalam hal ini makanan pokok, minyak nabati dan hewani masih menunjukkan angka yang positif, kecuali farmasi dan kesehatan. Oleh karena itu, agar tidak kehilangan momentum pandemi, Bumdes perlu bergerak ke bidang pangan, tapi tidak sekadar pangan. Dengan kecanggihan teknologi, kita dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengubah komoditi atau bahan mentah menjadi suatu produk dengan packaging yang bagus agar dapat dinaikkan ke level regional dan bahkan nasional melalui katalog.bumdes.id. Melalui website tersebut, kita dapat melihat produk-produk yang dipasarkan Bumdes dan melakukan transaksi, sehingga tidak ada kesulitan pemasaran. “Sekarang berpikir bagaimana Bumdes mengubah dari komoditi itu menjadi produk, masyarakat yang menanam, Bumdes yang mengolah dan mengemas dan memasarkan, disitulah Bumdes yang seharusnya memiliki peran signifikan,” ungkap Rudy.

Namun, teknik pemasaran tersebut tentu saja membutuhkan teknologi dan kreatifitas, dimana aspek tersebut kebanyakan ada pada anak muda. Dengan ini, Rudy menyarankan agar Bumdes turut menggandeng anak muda untuk masuk dan ikut turun mengelola desa. Pada akhir pemaparan, Rudy berpesan untuk situasi krisis, Bumdes perlu menghilangkan perencanaan rutin, tetapi fokus dengan prioritas. “Jadi, kita berbasis goal bukan berbasis proses/activity, goal-nya 3 bulan (sampai akhir 2020) harus membuka layanan baru,” ucapnya. (/Wfr)