Melihat Praktik Kebijakan BLT-DD Dan Implementasinya di Masyarakat

Yogyakarta, 12 Juni 2020—Merespon adanya kebijakan relokasi anggaran Dana Desa menjadi BLT Dana Desa (BLT-DD) yang menggeser prioritas pendanaan pembangunan komunitas menjadi jaring pengaman sosial karena krisis pandemi Covid-19 di Indonesia, Fisipol menghadirkan  Diskusi bertajuk “Kebijakan Bantuan Langsung (BLT) Dana Desa” pada Jumat silam  melalui WebEx dan kanal Youtube Live.

Nurul Aini bersama Fina Itriyati selaku Dosen Departemen Sosiologi yang tengah melakukan kajian cepat mengenai bagaimana gap antara kebijakan dengan implementasi BLT-DD di lapangan terjadi, dianalisis melalui tiga level penilaian, yakni secara makro di level kebijakan pusat yang diwakili oleh Bito Wikantosa, Direktur Pelayanan Sosial Dasar Ditjen PPMD Kemendesa PDTT. Level menengah yang diwakili Ani Widyani selaku Lurah Desa Sumbermulyo, Bambanglipur, Bantul. Serta di level mikro yaitu masyarakat sebagai penerima BLT yang diwakili oleh Yusuf Murtiono selaku Dewan Presidium FORMASI (Forum Masyarakat Sipil) Kebumen.

Bito Wikantosa yang membuka diskusi dengan perspektif kebijakan pusat, menjelaskan bahwa pandemi Covid-19 yang berdampak sistematis, melatarbelakangi adanya relaksasi penggunaan Dana Desa yang dialihkan untuk kepentingan jaring pengaman sosial. “Asumsinya, jaring pengaman sosial akan membiayai warga yang dikategorikan miskin, namun banyak mucul kelompok miskin baru yang akhirnya harus dibantu dengan pembiayaan BLT-DD. Dana Desa yang pengelolaannya diurus oleh desa sendiri, pendataan dan keputusannya juga ditentukan desa masing-masing lewat musyawarah desa,” ujar Bito.

Namun, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang menetapkan daftar penerima BLT, seringkali tumpang tindih dengan Program Keluarga Harapan (PKH) Kemensos maupun BNPB yang turun ke desa. Dasar pengambilan data maupun menetapkan calon penerima bantuan sering berbeda antar program jaring pengaman sosial. “Kondisi desa yang berbeda, membedakan proses pengambilan keputusan. Instruksi pengelolaan dana desa yang mengisyaratkan representasi maupun demokrasi deliberatif harus dikerjakan sungguh-sungguh. Ada desa yang menyalurkan BLT dengan cara bagi rata ke penduduk, atau di desa lain ada warga yang tidak dapat dapat bantuan, bahkan ada yang tidak mendapat informasi,” ujar Bito.

Ani Widyani selaku Lurah Desa Sumbermulyo menyempaikan bahwa setelah terbitnya SK  Bupati Tahun 2020 Nomor 154 mengenai tanggap darurat Covid-19 di Bantul, seluruh desa di Bantul pun mengeluarkan SK lurah mengenai bencana Covid-19 dengan melakukan perubahan APBDes bidang kelima yaitu bidang penanggulangan bencana dan keadaan darurat desa.

“Ketika melaksanakan BLT, sasarannya adalah keluarga miskin non-PKH yang masuk ke dalam 14 indikator calon penerima BLT yang basis datanya dari RT. Di DTKS kami ada 583 KK yang setelah diverifikasi ternyata hanya 105 KK atau 18,1% yang lolos indikator. Mungkin kalau kita gak verifikasi, 500 KK yang terdaftar akan diberi bantuan, kan eman-eman karena sangat tidak tepat sasaran,” ujar Ani.

Selain itu, Ani juga mengeluhkan banyaknya kebingungan yang desa hadapi dalam menyalurkan BLT. “Permasalahan regulasi ada banyak sekali, dari Kemendesa, Kemensos, Kemendagri, Kemenkeu sampai pusat, provisi, kabupaten, tidak ada yang sinergis dan tumpeng tindih. Kami sangat kebingungan, sangat terjepit. Di satu sisi kami melakukan banyak sekali aturan, di satu sisi banyak tuntuntan masyarakat agar bantuan bisa tepat sasaran,” ujar Ani.

“Harapan kami hanya ada satu data yang menjadi rujukan semua instansi secara terukur, bisa dibaca dan diaksesa gar nantinya tidak ada exclusion error atau data yang tercecer,” tambah Ani. Selanjutnya, Yusuf Murtiono yang mewakili masyarakat penerima BLT pun menyampaikan bahwa kebijakan BLT-DD mencederai kewenangan desa karena dalih kedaruatan yang seakan-akan hanya melakukan perintah pusat.

“Desa mempunyai kedaulatan atas data, namun data yang dihasilkan dari beberapa kabupaten ketika di komunikasikan dengan pusat melalui Kemensos, hampir semuanya ditolak karena Kemensos dianggap menjadi otoritas data yang tunggal. Bahkan orang yang sudah meninggal pun masih terdata sebagai penerima bantuan. Kami coba mengkomunikasikan ke Kemensos susahnya minta ampun,” ujar Yusuf.

Setelah pemaparan dari tiga perwakilan, Arie Sujito selaku Dosen Sosiologi Fisipol UGM pun menyayangkan bahwa pendefinisian situasi darurat antara interpretasi hukum dengan praktik politik kewenangan desa masih top down. “Konflik regulasi berangkat dari kecenderungan mainstream cara pandang teknokratis Kemenkeu. Mungkin Kemendes perlu membuat konsolidasi antara Kemenkeu dan Kemendagri,” ujar Arie yang menutup diskusi hari itu. (/Afn)