Yogyakarta, 13 September 2018– Seiring dengan perkembangan isu-isu di kawasan yang semakin kompleks dan membutuhkan hubungan timbal balik antar negara dalam penyelesaiannya, motivasi pembentukan kerja sama maupun organisasi di tingkat regional pun kian meningkat. Fenomena ini terjadi pula pada negara-negara di kawasan Asia dan Pasifik, dengan berbagai institusi maupun kesepakatan regional yang diinisiasikan; salah satunya adalah kerja sama Indo-Pasifik. Terminologi ‘Indo-Pasifik’ yang akhir-akhir ini diprediksi mulai menggeser relevansi ‘Asia-Pasifik’ ini pula, yang menjadi pokok bahasan dalam ‘Diskusi Panel: Peran Strategis ASEAN di Indo-Pasifik’ pada Kamis, 13 September 2018 lalu.
Bertempat di Ruang Sidang Dekanat Fisipol UGM, diskusi yang diselenggarakan oleh Global Engagement Office (GEO) Fisipol UGM dan The Habibie Center tersebut menghadirkan tiga pembicara yang didampingi oleh Muhammad Rum, S.I.P., IMAS sebagai moderator. Selain itu turut hadir Ir. Hadi Kuntjara, M.Eng.Sc. selaku perwakilan dari The Habibie Center, yang mengungkapkan rasa syukurnya kepada Fisipol UGM atas sambutannya serta harapan bagi kedua institusi untuk terus bekerja sama baik dalam bidang penelitian maupun kesempatan kerja bagi mahasiswa di masa depan. Pasca pidato pembuka tersebut, acara pun dimulai dengan perkenalan ketiga pembicara yakni Ibrahim Almuttaqi dan Dr. Alexander Chandra dari ASEAN Studies Program The Habibie Center serta Dr. Dafri Agussalim dari ASEAN Studies Center Fisipol UGM.
Mengawali penyampaian materinya, Ibrahim mengungkapkan bahwa kata ‘Indo-Pasifik’ yang mulai hangat kembali pasca kunjungan Trump di beberapa negara Asia pada tahun 2017 tersebut, dapat dipandang sebagai strategi geopolitik dari negara-negara inisiatornya. Sebagai contoh, bagi Amerika Serikat kerja sama Indo-Pasifik dapat menjadi ajang dalam memikirkan kembali perannya di kawasan sekaligus upaya untuk menghadang adidaya Tiongkok di Asia Pasifik. Berbeda halnya dengan India dan Australia, yang mungkin melihat kerja sama ini sebagai potensi untuk mengimplementasikan kebijakan luar negerinya saat ini yakni Act East Policy India maupun outward-looking Australia. Lantas, bagaimana kemudian Indonesia dan ASEAN menanggapi wacana tersebut? Kendati masih cenderung fleksibel, ASEAN melalui concept paper yang dipaparkan dalam pertemuan menteri-menteri luar negerinya pada Agustus 2018 silam telah menyatakan keinginannya untuk ambil bagian dan peran signifikan dalam kerja sama Indo-Pasifik tersebut. Menurut Ibrahim sendiri, respon Indonesia dan ASEAN terhadap Indo-Pasifik tersebut perlu didasarkan pada kajian atas bagaimana implikasi kerja sama itu pada sentralitas dan netralitas ASEAN; bagaimana agar Indo-Pasifik dapat lebih inklusif namun tetap berpusat dan memberikan keuntungan bagi ASEAN; serta bagaimana memastikan kerja sama Indo-Pasifik berkelanjutan dan tidak sama seperti strategi ‘Pivot to Asia’ Amerika Serikat dulu. Dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut, beberapa poin penting seperti keberadaan kerja sama Indo-Pasifik yang dapat menjadi ancaman bagi ASEAN melalui pengalihan urgensi & relevansi kesepakatan kerja sama lain maupun menjadikan ASEAN arena pertandingan kekuatan-kekuatan besar dunia, turut ditekankan pula. Tak hanya itu, permasalahan reliabilitas dan prediktabilitas tindakan Amerika Serikat sebagai salah satu negara kuat dalam kerja sama ini, juga perlu diperhatikan agar kerja sama Indo-Pasifik tidak berakhir sama seperti Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership) sebelumnya.
Permasalahan-permasalahan tersebut, disampaikan pula oleh Dr. Dafri Agussalim dalam pemaparannya. Beliau juga menyampaikan bahwa kerja sama Indo-Pasifik jugadapat dilihat sebagai panggung politik maupun arena kontestasi negara-negara non-ASEAN di dalamnya. “Australia misalnya, yang tidak pernah punya panggung politiknya sendiri. Tidak diajak di Uni Eropa dan tidak bisa masuk ASEAN juga, maka butuh Indo-Pasifik ini untuk mencapai tujuan geopolitiknya,” ungkap Dr. Dafri. Lebih lanjut, disampaikan pula bagaimana keinginan untuk mencapai inklusivitas dan sentralitas ASEAN dalam kerja sama ini, juga belum tentu cocok dan diinginkan oleh negara-negara anggota lainnya. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memastikan bahwa sistem kerja sama Indo-Pasifik itu sendiri akan bersifat terbuka, transparan, inklusif, dan tertib hukum. Pemaparan ini lantas dilanjutkan dengan materi dari Dr. Chandra yang membagi pembahasannya ke dalam empat poin diskusi utama; yakni feasibility & cooperability dari konsep Indo-Pasifik tersebut, apa faktor-faktor pendorongnya, apa pula hal-hal yang dapat menghambatnya, serta pertanyaan lebih lanjut yang perlu dipikirkan dalam menanggapi isu kerja sama ini.
Pertumbuhan ekonomi di Asia yang kian meningkat, aspek historis integrasi kawasan, tingkat perdagangan dan investasi yang masih perlu dikembangkan, serta potensi Myanmar sebagai pemersatu kawasan; menjadi beberapa faktor yang menurut Dr. Chandra mampu menjadi pendorong kerja sama Indo-Pasifik. Sementara isu konektivitas fisik, peran dan gaya kepemimpinan Amerika Serikat, dinamika hubungan negara-negara kekuatan baru di dalamnya, hingga evolusi Indo-Pasifik seiring dengan pergantian rezim di berbagai negara anggotanya; menjadi beberapa hal yang menurut beliau perlu dipertimbangkan lebih lanjut hambatannya terhadap kejra sama ini. Oleh sebab itu pula, beberapa pertanyaan lanjutan pun muncul dalam pembahasan atas wacana Indo-Pasifik tersebut. “Bagaimana menjamin ASEAN centrality misalnya, perlu dipikirkan. Terutama jika berpegang pada prinsip centrality is earned, not given. Selain itu, bagaimana pula relevansi organisasi dan kerja sama regional lain di kawasan ini serta moral leadership Indonesia di ASEAN, perlu juga dipikirkan,” pungkas Dr. Chandra sekaligus mengakhiri sesi penjelasannya.
Dalam sesi tanya-jawab, beberapa pertanyaan menarik yang dilemparkan oleh peserta, seperti kaitan antara kerja sama Indo-Pasifik dengan respon negara-negara ASEAN atas bantuan ekonomi Tiongkok, serta kelanjutan pilar sosial-budaya dalam kerja sama ASEAN; turut dibahas dalam diskusi kali itu. Acara pun kemudian ditutup dengan pemberian kenang-kenangan dari GEO kepada The Habibie Center, yang diwakilkan oleh Ibrahim dan Dr. Chandra selaku pembicara.(/sno)