Hedley Bull membuka bukunya dengan tiga pertanyaan. Pertama, apa yang dimaksud dengan keteraturan (order) dalam politik internasional. Kedua, bagaimana order dapat dipertahankan di dalam eksistensi sistem negara yang berdaulat. Ketiga, apakah sistem negara berdaulat dapat menyediakan jalan dalam menciptakan keteraturan dunia.
Pada sesi kali ini (10/12), Institute International Studies (IIS) kembali menggelar Reading Club Suryakanta dengan mengusung buku dari Hedley Bull yang berjudul “The Anarchical Society: A Study of Order in The World Politics”. Bertempat di Gedung BA Ruang 503 Fisipol UGM, Reading Club kali ini menghadirkan Nurhawira Gigih Promono selaku peneliti IIS sebagai pemantik diskusi.
Nurhawira dalam pemaparan pertamanya menekankan bahwa Hedley Bull mengartikan order bukan sebuah sistem politik secara keseluruhan seperti yang dimaknai kebanyakan orang. Hedley Bull disini memaknai order sebagai suatu kualitas yang muncul dalam kondisi-kondisi tertentu. Dalam hal ini, Nurhawira menerjemahkan order sebagai sebuah ‘keteraturan’. “Jadi order disini adalah oposisi dari disorder,” jelasnya. Sedangkan dalam kehidupan sosial, Hedley Bull menganggap bahwa order bukanlah sebuah tujuan melainkan pola aktivitas masyarakat yang berusaha mencapai nilai-nilai tertentu.
“Jadi diawal Hedley Bull menganalogikan buku bertumpuk yang secara penglihatan teratur tapi itu tidak bisa disebut sebagai sebuah keteraturan, karena keteraturan yang dia bayangkan itu tidak hanya ditumpukan saja tapi dua buku yang punya urutan, berjajar, dan disertai fungsi-fungsi tertentu,” papar Nurhawira Di mana tujuan tersebut menyangkut tiga hal yaitu perlindungan dari kekerasan, perlindungan properti, dan pematuhan terhadap kesepakatan. Tiga tujuan inilah yang selalu ada di setiap kehidupan sosial masyarakat.
Nurhawira melanjutkan pada tesis kedua Hedley Bull tentang bagaimana order eksis di masa modern ini. Namun sebelum lebih jauh, Nurhawira menjelaskan apa itu state, sistem internasional, dan masyarakat internasional. Pertama, state adalah komunitas politik independen yang mempunyai kedaulatan untuk mengatur teritorialnya. Kedua, sistem internasional adalah dua atau lebih negara yang saling terkontak dan memberi pengaruh antara satu dengan yang lain. Ketiga, masyarakat internasional di mana ada dua negara atau lebih yang sadar akan adanya kepentingan bersama yang ingin dicapai lalu mereka mengikat diri pada satu set aturan dalam suatu sistem. “Bisa dikatakan masyarakat internasional itu adalah kumpulan negara yang membentuk kemasyarakatan,” tambahnya. Sehingga untuk memahami tesis ke dua dari Hedley, kita harus membayangkan bahwa negara adalah satu individu yang ada di sebuah masyarakat.
Nurhawira melanjutkan bahwa order di dunia modern bersifat tidak stabil karena berbeda dengan masa-masa sebelumnya. “Tidak ada level hierarkis diantara negara-negara yang ada dalam sistem internasional,” pungkasnya. Jika dibandingkan di abad 18 di Eropa terdapat 6 negara great power, sseperti Rusia, Austria, Inggris, dan Prancis. Sedangkan negara di sekitarnya pada dasarnya tunduk pada satu set aturan yang diciptakan oleh 6 negara great power ini. Meskipun pada level tertentu mereka memiliki kedaulatan sendiri.
Menurut Nurhawira, di dunia modern tidak terbentuk situasi-situasi seperti yang terjadi di abad 18. Di masa sekarang great power dipegang oleh negara-negara yang tidak punya tradisi budaya dan pemikirang sama, seperti Amerika dan Jepang. Dalam hal ini tidak ada sharing budaya dan tradisi intelektual. Oleh karena itu, Hedley meyakini order di masa sekarang tidak relevan untuk diterapkan.
Rizki Alif, salah satu peserta Reading Club, memberikan beberapa catatan terhadap tesis Hedley. Pertama, kelemahan dari Hedley Bull adalah mendefinisikan masyarakat internasional terlalu tipis. Di mana kesepakatan yang diambil oleh antarnegara terlalu sempit yaitu hanya seputar properti, perdamaian, dan pematuhan kesepakatan. Padahal bagi Rizki, ada beberapa hal penting yang juga perlu disepakati, misalnya keharusan demokrasi, pluralisme, maupun multikulturalisme.
Kedua, dalam hal ini Hedley tidak peka terhadap relasi kuasa yang ada. Artinya, kita bisa bertanya dari mana negara-negara tersebut menutuskan untuk sepakat. “Ada sebuah buku yang pernah saya baca yang mendefinisikan order dari dua sisi yaitu bentuk kekerasan dan bentuk persuasif, kau percaya padaku itu baik dan jika tidak percaya kau akan ku pukul,” jelasnya. Menurut Rizki, order lebih tepat dibaca melalui konteks seperti ini. (/ran).