Memahami Perlindungan Sosial di Indonesia dari Kacamata Pemerintah

Yogyakarta, 28 Agustus 2019—Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejateraan (PSdK) UGM mengundang salah satu tamu penting dalam rangka seminar dan diskusi terkait perlindungan sosial di Indonesia. Acara yang diadakan di Seminar Timur Fisipol ini menghadirkan Dr. Oetami Dwi—salah satu alumni PSdk (dulu Sosiatri)—yang saat ini bekerja sebagai Kepala Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS), sebagai pembicara utama dalam acara ini. Di moderatori oleh Suzanna Eddyono, S.Sos., M.Si., M.A., P.hD, dosen PSdK UGM, acara dibuka sekitar pukul 09.30 WIB.

Dengan gaya khas yang cukup nyentrik, Oetami kemudian memulai pembahasan seminar dengan menjelaskan pentingnya prioritas nasional. “Kamu tidak akan bisa melakukan pembangunan kalau kamu sendiri saja tidak tahu hal-hal apa yang memiliki urgensi dan harus diprioritaskan,” ungkapnya. Perbaikan infrastruktur, peningkatan ketahanan pangan dan bencana, serta penanganan kasus terorisme menjadi contoh tiga hal penting yang harus dibangun dalam upaya pembangunan nasional. Pembangunan sosial dan kesejahteraan harus dipastikan stabil.

Pembuatan prioritas nasional kemudian disusul dengan adanya pelaksanaan program pemerintah yang sebelumnya sudah direncanakan secara matang. Selain itu, pemerintah juga berperan dalam pembuatan peraturan hukum yang dapat menyokong program-program bantuan perlindungan sosial.

“Salah satu contohnya, UUD 1945 Pasal 34 ayat (1), fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Hukum ini menjadi basis perlindungan sosial di Indonesia. Kalau tidak ada hukum itu, perlindungan sosial bukan menjadi suatu hal yang harus ada,” jelasnya. Oetami kemudian menjelaskan pola pemberian perlindungan sosial dari negara untuk rakyatnya. “Visi pemerintah sekarang berbeda. Pemerintah sekarang telah menghapuskan bantuan tunai, dan memberikan barang dalam bentuk kartu sebagai gantinya. Kita sebut ini sebagai Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT),” katanya.

Di dalam kartu tersebut merupakan sejumlah nominal yang bisa ditukarkan dengan barang yang dibutuhkan. Misal, masyarakat penerima bantuan ingin membeli beras, maka mereka tinggal datang ke agen mitra pemerintah, menunjukkan kartu tersebut, dan mereka bisa membeli beras sesuai dengan batas nominal yang ada dalam kartu yang mereka miliki. Selain BPNT, Oetami juga menjelaskan mengenai Program Keluarga Harapan (PKH), yaitu salah satu program yang memiliki daya ungkit cukup tinggi. PKH merupakan program pemberian bantuan bersyarat yang bertujuan untuk memberikan akses fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan kepada ibu hamil dan anak-anak.

“Ini cara pemerintah untuk mengedukasi rakyatnya. PKH memberi akses layanan kepada para ibu hamil penerima bantuan untuk melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4x selama masa kehamilan. Dan jika pemeriksaan dilakukan kurang dari 4x, maka bantuan akan dikurangi,” jelas Oetami. Setelah anak lahir, bantuan dari PKH masih akan terus berlaku hingga sang anak selesai bersekolah. “Kesehatan dan pendidikan menjadi dua kunci utama pembangunan, dan kami pemerintah, bertugas untuk memastikan kedua hal tersebut dapat benar-benar diperoleh oleh masyarakat yang memang membutuhkan,” jelas Oetami.

Menjelang penghujung sesi seminar, ada satu hal menarik yang dipaparkan, yaitu bagaimana tren anggaran Kementrian Sosial yang terus meningkat setiap tahunnya. Kenaikan tren tersebut tidak serta merta diartikan bahwa jumlah kemiskinan di Indonesia juga meningkat. Justru dari tren ini, komitmen pemerintah untuk memberi perlindungan sosial terlihat. Ratih, salah satu orang yang turut diajak Oetami dari B2P3KS, mengatakan bahwa kenaikan tren tersebut disebabkan karena perhatian pemerintah terhadap masyarakat kurang mampu terus meningka, penanganan masalah yang sifatnya berlapis, dan penaikan limit target supaya lebih banyak orang yang bisa memperoleh bantuan.

“Contohnya di PKH, begitu anak lahir, bantuan dari PKH masih tetap bisa digunakan sampai anak selesai sekolah,” jelas Ratih. Dari sini dapat dilihat bahwa pemerintah tidak hanya berfokus pada bantuan satu fase saja, namun juga memperhatikan segi keberlanjutan dan stabilitas. Namun, baik Oetami dan Ratih juga mengakui bahwa pemerintah masih sering kewalahan dalam hal pengelolaan data. Masih sering terjadi inclusion error yang terjadi karena kerancuan data, dimana orang-orang yang sebenarnya tidak perlu memperoleh bantuan, namun justru mendapatkan bantuan tersebut.

Pembahasan mengenai tren anggaran Kemensos menjadi penutup dari sesi seminar acara ini. Acara kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi dimana peserta dipersilakan untuk mengajukan komentar atau pertanyaan. Dari sekian banyak komentar dan pertanyaan yang muncul, ada satu pertanyaan menarik yang berkaitan dengan perlindungan sosial untuk masyarakat terpencil. Merespon hal tersebut, Oetami mengatakan bahwa sebenarnya tahun ini Kemensos dan Direktorat Komunitas Adat Terpencil (KAT) sudah mengadakan evaluasi mind-set pemerintah.

“Memang salah satu hal yang dievaluasi adalah mind-set pemerintah yang masih berfokus pada bangun membangun rumah saja. Padahal, pemerintah seharusnya bisa lebih menyesuaikan bantuan dan perlindungan yang sesuai dengan kondisi yang ada. Selain itu, pemerintah juga harus membangun iklim kondusif supaya masyarakat terpencil dapat ikut berjalan beriringan dengan perubahan yang ada,” pungkas Oetami. (/Jkln)