Nigeria, dekade 1990an, menjadi latar belakang perang antara dua kelompok milisi yang mewakili dua agama mayoritas di Nigeria. Tersebutlah Pastor James Wuye, dari agama Kristen dan Imam Muhammad Ashafa dari agama Islam yang kemudian menjadi pemimpin masing-masing kubu. Di awal perang, kebencian dan amarah menjadi fitur utama dari keduanya. Sang lawan selalu dianggap sebagai seseorang yang bersalah karena telah membunuh sesama dari dalam komunitas masing-masing.
Pastor James bahkan mengungkapkan bahwa kebenciannya terhadap oarang-orang Muslim kala itu tidak terbatas, “Tidak ada yang Muslim yang mengesankanku. Apapun yang dilakukannya.” Hingga akhirnya, kedua tokoh ini mendapatkan pencerahan untuk memaafkan melalui momentumnya sendiri-sendiri. Mereka lantas dipertemukan dalam suatu kesempatan yang tidak disengaja. Singkat cerita, mereka kemudian saling memaafkan dan memulai misi untuk mengatasi konflik agama dan etnis yang terjadi di Nigeria melalui sebuah badan bernama Interfaith Mediation Center. Melalui berbagai usahanya untuk mengembangkan bina-damai dan tata kelola pemerintahan yang inklusif, mereka didaulat sebagai tokoh agama yang berjasa dalam pengentasan konflik agama di Nigeria bahkan Afrika. Scene terakhir menunjukkan betapa lekatnya mereka berdua, bahwasanya dengan saling memaafkan dan percaya, mereka bisa menjadi teman yang saling berdamai, meskipun perbedaan adalah sebuah keniscayaan.
Diiringi tepuk tangan yang memenuhi ruang audio visual di Institut Francais d’Indonesie (IFI-LIP) Yogyakarta, film dokumenter tersebut selesai. Pemutaran film dokumenter bertajuk “The Imam and The Pastor” yang diadakan pada Jumat (06/10) tersebut diselenggarakan oleh kerja sama antara Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Yayasan Paramadina, Tannenbaum Foundation, Tifa Foundation, Lembaga Antar-Iman Maluku (LAIM), Institut Francais d’Indonesie (IFI) Yogyakarta, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM, Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM, Institute of International Studies (IIS) UGM, dan HI-Cine UGM.
Kegiatan tersebut sendiri merupakan bagian dari rangakaian acara yang terdiri dari kuliah umum yang mengundang James Wuye dan Imam Ashafa di Jakarta dan Yogyakarta serta sebuah lokakarya yang diadakan di Yogyakarta.
Segera setelahnya, Zainal Abidin Bagir selaku moderator menyambut audiens yang memadati ruangan dan memulai sesi diskusi. Pemantik pertama adalah Elga Sarapaung dari Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei), yang merupakan badan dialog lintas iman yang tertua di Indonesia. Melalui refleksinya, ia menuturkan bahwa yang dilakukan oleh Imam dan Pastor ini adalah sebuah rekonsiliasi berbasis hati dan bukan sekedar proyek belaka. Dimana keduanya tidak hanya menyerukan orang untuk saling memaafkan dan menghentikan konflik, namun hal ini juga diamini dan diterapkan oleh mereka sendiri. Lebih lanjut menurutnya terdapat tiga faktor pemicu konflik dalam film tersebut, yaitu ekonomi, ekstrimisme agama, dan politik. Menurutnya, kedua pemuka agama ini tidak hanya memahami permasalahan dalam konteks agama, namun juga hubungannya dengan situasi sosial dan politik yang ada di Nigeria. Selain itu, Elga juga menyoroti minimnya keterlibatan perempuan dalam upaya negosiasi dan pembentukan kesepakatan yang terjadi dalam film.
Pemantik diskusi kedua adalah Diah Kusumaningrum, seorang staf pengajar di Departemen Hubungan Internasional UGM. Dari lingkaran perang dan konflik yang berputar terus menerus, dapat dipotong pada satu titik sebagai awal, yaitu ketika pada tahap mourning atau berduka. Ketika seseorang sedang dalam tahap tersebut, ada dua kemungkinan tindakan yang akan diambil. Pertama, mereka akan merepresi kedukaan mereka dan memanifestasikannya dalam bentuk amarah atau dendam. Lalu pilihan yang lain, mereka mengeluarkan kedukaan tersebut dengan melakukan refleksi diri. Pilihan kedua tersebut kemudian bisa menjadi celah seseorang untuk memaafkan dan melakukan aksi bina-damai. Dari perspektif Diah, Ashafa dan James melakukan rekonsiliasi dan mediasi yang berbasis agama. Selanjutnya menurut Diah, mediasi lintas iman merupakan sesuatu yang sejatinya sulit dilakukan, namun eksistensinya amat dibutuhkan.
Setelahnya, moderator memberikan kesempatan para penonton untuk membagikan beberapa cerita dan refleksinya. Banyak yang menyampaikan apresiasinya terhadap film yang membawa kesan positif ini. Selain itu banyak juga yang mengaitkan dengan kondisi yang terjadi di Indonesia. Seorang penonton bertutur bahwa dalam waktu-waktu tertentu, peran pemuka agama dapat diibaratkan sebagai dua sisi mata uang yang berbeda. Selain bisa menjadi pemersatu dan pemberi pesan perdamaian, tidak jarang ditemukan para pemuka agama yang justru menyebarkan doktrin kebencian yang akhirnya memicu konflik. Para penonton sendiri, selain merupakan mahasiswa juga berasal dari beragam komunitas yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya. (/fkm)