International Seminar on Social and Political Sciences (ISSOCP) akhirnya digelar, Kamis (23/11) di Hotel University Club UGM. Menteri Sekretaris Negara Pratkino dalam keynote speech-nyamenegaskan kembali pentingnya era digital untuk kegiatan politik dan ekonomi Indonesia. “Kita perlu menemukan kembali demokrasi kita. Sekarang sudah banyak inisiatif buat demokrasi dan gerakan sosial yang dimulai dari internet,” ujar Pratikno yang juga pernah menjabat Rektor UGM.
Ia mengatakan era digital saat ini mengizinkan kontribusi dan tanggung jawab masyarakat yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan. “Pikirkanlah apa yang bisa menimbulkan disruptive effect, pikirkan sesuatu yang baru, tetapi tidak destructive,” kata Pratikno, sembari menekankan peran anak muda dalam berinovasi.
Setelah audiens mengambil foto bersama sang menteri, acara dilanjutkan dengan pembahasan hate spin dan post-truth oleh Cherian George dan Steven Miller. George menjelaskan penemuannya mengenai hate-spin yang mendasarkan kebencian pada agama di Amerika Serikat, India, dan Indonesia. “Indonesia memiliki keadaan yang serupa dengan AS, dimana etnonasionalisme berkembang dengan signifikan terbukti dari naiknya Trump serta pemilu gubernur Jakarta.”
George menjelaskan bahwa hate spin merupakan strategi politik dimana rasa takut dan kebencian dijadikan senjata politik dan tidak terkait dengan akar kebencian itu sendiri. Hate spin terbagi menjadi dua sisi, yang pertama adalah incitement atau penghasutan untuk mendiskriminasi satu kelompok tertentu. Tahap kedua adalah indignation atau proses manufaktur kebencian untuk menyebabkan kemarahan masyarakat kelompok tertentu. “Kelompok-kelompok ini menggunakan offended-ness masyarakat sehingga mudah menimbulkan kemarahan,” ujar George.
Pertanyaan berikutnya yang harus dijawab adalah apakah kita harus membuat olokan yang menimbulkan rasa tersinggung sebagai tindak kriminal? George berpendapat bahwa offense yang membuat orang lain bisa tersinggung adalah sesuatu yang sangat subyektif dan kadang tidak diintensikan. Incitement akan lebih mudah diukur. “Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa blasphemy is a bad law. Kita harus fokus pada aksi, bukan kata-kata. Jika kita tinggal berdampingan dengan orang yang memiliki nilai-nilai yang berbeda, kita akan sering merasa sebal dengan pandangan mereka, dan sudah sewajarnya begitu,” pungkas George.
Miller melanjutkan penjelasan George dengan membahas bahwa post-truth yang menimbulkan kebencian semakin efektif tersebar melalui internet. “Di daerah-daerah anglosphere, popularitas post-truth sangat populer, dibuktikan dari naiknya Trump dan Brexit. Boris Johnson misalnya menjanjikan £350 juta perminggu untuk mengisi NHS di Britania, tetapi itu bohong dan publik percaya. Trump juga sangat eksis di Twitter sehingga dia punya pengaruh yang besar.”
Miller mengatakan bahwa ini menjadi ajang pemasaran politisi untuk memberikan narasi-narasi yang sederhana tetapi memiliki efek mobilisasi yang kuat. Brexit dan Trump sarat dengan intoleransi. “Sangat penting untuk memilih toleransi daripada kebencian. Tanggung jawab kita sebagai warga negara” ujar Miller mengingatkan. Kedua pembicara kembali mengingatkan bahwa populisme dan ujaran-ujaran yang memojokkan satu kelompok tertentu berdasarkan agama dan etnisitas adalah salah satu senjata politik. Keadaan ekonomi yang lesu dan lapangan kerja yang terbatas menjadi alat yang mudah untuk memobilisasi massa. Pembahasan ini juga terkait dengan apa yang disampaikan oleh Karaniya Dharmasaputra. Saat ini tren pencarian masyarakat Indonesia di Google cukup mengejutkan. “Saat kita mengetik ‘Jokowi’, yang mengikuti adalah ‘PKI’, ‘muallaf’, ‘Cina’, dan sebagainya. Orang-orang juga aktif mencari tahu apakah dia benar-benar Muslim.” Baginya ini merupakan hal yang juga bagus karena masyarakat Indonesia aktif melakukan fact-checking.
Kuskridho Ambardi menegaskan peran media dalam pembentukan rasa curiga di kalangan masyarakat tersebut. Saat pemilu, ada dua media televisi yang memberitakan persaingan antara Jokowi dan Prabowo secara intensif. “Yang satu menyediakan berita-berita positif tentang Jokowi, satunya lebih banyak buat Prabowo. Kemudian ini menimbulkan polarisasi yang sangat besar di masyarakat Indonesia,” ujar Kuskridho.
Di ranah bisnis, Deputi Direktur BCA Armand Hartono menyatakan bahwa segala hal di dunia sudah berubah. “Dulu kita dilarang orang tua untuk main game dan bikin video karena tidak ada uang dari situ. Sekarang coba lihat, misalnya PewDiePie. Dia gamer dan punya 39 juta subscriber di YouTube dengan penonton sejumlah 10 miliar. Dia dapat uang dari situ,” ujar Hartono. Kini, terdapat tantangan yang unprecedented. Hanya 3% transaksi BCA yang dilakukan secara langsung melalui transaksi cabang. “Sisanya melalui ATM dan mobile banking. Tantangannya, kami harus mencari cara lain untuk engage dengan pelanggan,” ujar Armand.
Ia menyatakan inilah yang disebut dengan new normal. Perlu penemuan-penemuan baru oleh orang-orang muda. Ia menekankan perlunya berkolaborasi dan mencari solusi dari permasalahan sebagai langkah awal menemukan inovasi.
Seminar dilanjutkan dengan diskusi panel para peserta call for paper yang terbagi menjadi empat ruangan. Acara akan dilanjutkan pada Jumat (24/11) dengan presentasi dan penutupan acara. (/KOP)