Kamis (14/9), bertempat di Ruang Persatuan, Gedung Notonegoro, Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, tengah berlangsung kuliah publik bertajuk “Postcolonial Theory, Postcolonial Feminism and International Relations”. Acara yang diselenggarakan atas kerja sama dari pihak Fakultas Filsafat UGM, Global Engagement Office (GEO) FISIPOL UGM, serta Insitute of International Studies (IIS) Departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM ini mendatangkan Sheila Nair, Ph.D, seorang profesor politik dan Hubungan Internasional dari Northern Arizona University sebagai pembicara utama. Dalam kuliah umum ini, Prof. Sheila Nair berkesempatan untuk menjelaskan mengenai teori poskolonialisme dan feminisme poskolonial di hadapan peserta yang rata-rata merupakan mahasiswa Fakultas Filsafat serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM.
Sebelum memasuki inti materi, Prof. Sheila Nair membuka kuliah dengan pembahasan teori-teori mainstream dalam hubungan internasional seperti realisme, liberalisme, dan neoliberalisme. Ini dilakukan untuk memberikan pengenalan singkat terhadap teori-teori dasar Hubungan Internasional yang berkutat pada relasi kekuatan, negara sebagai aktor utama, dan bagaimana teori tersebut memandang sistem internasional. Faktanya, teori-teori ini banyak dipengaruhi oleh akademisi barat yang berstatus ‘privileged’. Hal inilah yang kemudian memunculkan teori-teori kritis. Dimana teori-teori tersebut membahas hal-hal yang tidak mampu dicakupoleh teori konvensional hubungan internasional. Salah satunya adalah teori poskolonialisme dan feminisme poskolonial.
Dikatakan oleh Prof. Sheila, teori poskolonialisme mempelajari bagaimana masyarakat umum dan pemerintah di negara-negara bekas jajahan mengalami praktik hubungan internasional. Lebih lanjut, teori ini mencoba menjawab bagaimana dampak dari kolonialisme di negara-negara jajahan terus bertahan bahkan setelah periode jajahan selesai. Pada negara-negara Barat, bagaimana negara-negara ini melihat negara “non-Barat” juga merupakan produk warisan dari kolonialisme yang masih bertahan hingga saat ini. Poskolonialisme juga menjelaskan tentang bagaimana kolonialisasi berdampak pada aspek politik, sosial, dan budaya pada negara koloni yang efeknya terus terasa hingga saat ini. Salah satu dampaknya dapat terlihat pada terbentuknya cara berpikir kolonial dalam melihat dunia. Misalnya saja dengan pembentukan serta marjinalisasi apa yang disebut dengan “negara non-Barat”. Teori ini juga memiliki ketertarikan pada isu-isu seperti disparitas kekayaan global, budaya, identitas, nasionalisme, hingga isu pengungsi dan migrasi. Melalui hal-hal tersebut, poskolonialisme mencoba memberikan perspektif alternatif dalam melihat sejarah dan politik kontemporer dunia dari dominannya perspektif mainstream Hubungan Internasional saat ini.
Mengenai feminisme poskolonial, Prof. Sheila menceritakan bagaimana masih sangat sedikit akademisi yang membawa feminisme dalam diskursus poskolonialisme ketika ia menggarap buku “Power, Postcolonialism and International Relations: Reading Race, Gender and Class” bersama dengan rekannya, Geeta Chowdhry. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh masih dominannya liberalisme dalam studi feminisme Hubungan Internasional. Feminisme sendiri merupakan salah satu pendekatan penting dalam studi perspektif Hubungan Internasional. Yang membedakan feminisme poskolonial dengan feminisme lain adalah perspektif ini menjadikan interseksi sebagai sebuah hal penting. Hal tersebut dapat berarti hubungan dari beragam isu, semisal antara gender dan seksualitas dengan isu ras dan kelas. Feminisme poskolonial juga mempertanyakan gagasan solidaritas universal diantara wanita dan gerakan wanita. Lebih lanjut, pertanyaan tersebut berfokus pada bagaimana pengalaman-pengalaman di seputar hal tersebut terjadi, misalnya seperti pada wanita di negara dunia ketiga ataupun pengalaman woman of color di Amerika Serikat.
Kuliah publik yang berlangsung selama 1,5 jam tersebut diakhiri dengan kesimpulan yang diberikan oleh Prof. Sheila Nair. Melalui kegiatan ini, diharapkan peserta dapat mengeksplorasi teori poskolonialisme dan feminis poskolonialisme dalam relasi kekuatan global kontemporer. Hal ini menjadi penting, di tengah dominannya teori mainstream Hubungan Internasional yang seringkali mendiskreditkan pihak-pihak non-Barat yang termarjinalisasi.