Senin, 29 Mei 2017 dalam rangka Pekan Pancasila, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada mengadakan Talkshow Kebangsaan yang mendatangkan Asa Firda Inayah atau Afi Nihaya Faradisa sebagai pembicara. Bertempat di Auditorium Digital Library Gedung Mandiri lantai 4 yang dimulai sejak pukul 10.00 WIB. Asa atau yang memiliki nama pena Afi ini diundang setelah tulisannya yang berjudul Warisan viral di media sosial.
Nama Afi Inayah Faradisa sendiri merupakan nama pena Asa hasil dari pengacakan anagram. Afi adalah nama yang tersusun dari huruf awal setiap kata dari namanya, Nihaya adalah acakan dari Inayah dan Faradisa merupakan gabungan dari Asa Firda.
Talkshow ini dibuka dengan sambutan Dekan Fisipol, Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si. dalam sambutannya Erwan menegaskan bahwa permasalahan kebhinekaan bukanlah isu baru. Namun sesuai dengan kemajuan dan perkembangan zaman, tantangan membahas konteks kemajemukan menjadi hal yang penting. Terutama untuk kembali mengingatkan bahwa Pancasila sebagai dasar negara adalah solusi yang diberikan para bapak bangsa untuk menyelesaikan permasalahan kemajemukan Indonesia.
Dengan format acara diskusi, talkshow ini dimulai dengan memperkenalkan pribadi Asa oleh moderator RB Abdul Gaffar Karim dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM. Asa yang berasal dari sebuah desa di Banyuwangi selatan ini mengaku bahwa menulis dan membaca adalah kegemarannya sejak kecil. Dari kegemaraannya inilah Asa rajin mengutarakan pendapat dan menuliskannya di laman Facebook. Warisan sendiri muncul dari keresahan dan kegeraman akan keadaan yang terjadi saat ini. Asa menjelaskan bahwa Warisan merupakan hasil pengamatannya melihat keadaan disekitarnya. Ide utama dari Warisan bukanlah hanya untuk menunjukkan keragaman suku, agama atau ras yang ada di Indonesia namun soal warisan turun temurun dari aspek-aspek hidup teresbut.
“Warisan kan bisa kita dapatkan baik dari turun-temurun atau kita cari sendiri. Turun-temurun atau pilihan sendiri, apakah kita punya hak untuk menyalahkan?”
Menurut Asa permasalahan kebangsaan kita saat ini adalah sulitnya masyarakat menerima keberagaman. Keberagaman justru dijadikan sebuah ancaman dengan memaksakan keyakinan pribadi kepada oranglain. Pribadi-pribadi ini kemudian merasa warisan yang melekat pada dirinya paling benar sehingga melabeli orang yang berbeda seakan-akan kedudukannya lebih rendah.
“Cara untuk memperbaikinya menurutku lewat tulisan, berkontribusi langsung. Tulisan bisa diantar langsung ke genggaman orang sehingga mengubah cara berpikir orang terhadap keberagaman,” jawab Asa atas pertanyaan bagaimana cara memperbaiki mentalitas Bangsa Indonesia saat ini.
Asa menanggapi biasa saja mengenai komentar pro dan kontra terhadap tulisannya. Menurut Asa, komentar-komentar yang datang padanya adalah bentuk penyerangan orang tersebut pada gambaran Asa yang mereka munculkan dalam pikiran mereka. Bagi Asa, reaksi yang muncul menjadi bukti bahwa tulisannya sampai pada masyarakat. “Kalo kamu berani mempublikasikan tulisanmu ya kamu harus siap dengan segala responnya,” tandas Asa.
Saat ditanya mengenai efek lanjutan dari tulisannya, yang memunculkan pro dan kontra juga kemungkinan membawa perpecahan baru, Asa menakankan bahwa apa yang ia tuliskan menekankan pada sebuah persatuan. Bagi Asa, hal ini berdasar pada kenyataan bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda dan beragam. Asa merasa menjadi hal yang sia-sia jika ternyata mengajak banyak orang untuk berpikir dengan pikiran terbuka untuk menerima perbedaan malah membawa perpecahan.
Diakhir diskusi, Asa mengajak para anak muda untuk berkontribusi aktif membawa perubahan ke arah yang lebih baik dengan berpikiran terbuka. “Jangan ragu untuk menuliskan atau mengutarakan apa yang kamu pikirkan. Semua orang punya hak, jika kamu tidak punya teman dekat maka diluar sana pasti ada yang berpikiran sama sepertimu.” (immaculata desti)