Membincang Media Internasional dan Disrupsi Digital bersama para Jurnalis di DiskusHI #6

Yogyakarta, 20 Februari 2021—Berkarier sebagai jurnalis merupakan pilihan yang dapat diambil oleh lulusan dari berbagai jurusan, termasuk dari jurusan Hubungan Internasional. Apalagi, profesi ini memberi perspektif berbeda dalam memahami sebuah peristiwa, sama seperti cara berpikir yang diajarkan dalam studi hubungan internasional. Untuk melihat keterkaitan antara studi hubungan internasional dengan bidang jurnalistik, Keluarga Alumni Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada mengadakan DiskusHI #6 bertajuk “Catatan para Jurnalis, Media Internasional, dan Disrupsi Digital”. Menghadirkan alumni Hubungan Internasional yang pernah berkarier di media internasional, diskusi yang diselenggarakan melalui platform Zoom Meeting ini juga mengulik pengaruh disrupsi digital terhadap bidang profesi jurnalisme saat ini.Dipandu oleh Ainur Rohmah, seorang kontributor media internasional, diskusi dimulai dengan membahas awal ketertarikan para narasumber pada bidang jurnalistik. Anton Alifandi, Associate Director at IHS Markit sekaligus mantan jurnalis BBC World Service dan The Jakarta Post, bercerita bahwa ia memiliki ketertarikan di bidang jurnalistik dari kecil, dari kebiasaannya membaca koran yang dilanggan oleh keluarganya. Begitu pula dengan kisah yang diungkap Yusuf “Dalipin” Arifin, Chief Storyteller Kumparan sekaligus mantan jurnalis BBC World Service dan ABC. Namun, berbeda dari Anton, Dalipin pada awalnya lebih tertarik untuk menjadi penulis ketimbang jurnalis. Pada masa kuliah lah ia baru ‘tertarik’ dan mulai berjalan di bidang jurnalistik.

Baik Anton maupun Dalipin pun memiliki pandangan yang sama mengenai keterkaitan ilmu hubungan internasional dengan karier di bidang jurnalistik: kesempatan untuk mengenal dunia secara lebih formal, seperti mempelajari suatu isu berdasarkan metode-metode yang ditetapkan. Selain itu, jurusan Hubungan Internasional juga memberikan kesempatan untuk mempelajari isu-isu yang kerap diangkat oleh pemberitaan, seperti current affairs dan politik-ekonomi internasional.

Berbicara mengenai disrupsi digital, Dalipin melihat bahwa sejatinya disrupsi berguna bagi kemajuan masyarakat, khususnya di bidang media. Perubahan paradigma—yang kemudian mengakibatkan disrupsi—melalui kehadiran teknologi baru selalu terjadi sejak pertama kali ada media massa. Namun, menurut Dalipin, disrupsi kadang terjadi tanpa adanya teknologi baru, dengan teknologi yang sama dapat pula tercipta disrupsi baru. Inilah yang disebut sebagai disrupsi melalui pola pikir, di samping memang terdapat pula disrupsi digital.

Salah satu bentuk disrupsi yang bisa dilihat di bidang jurnalistik, khususnya yang berbasis digital, adalah adanya fitur berlangganan atau subscription. Anton melihat fitur berlangganan ini lebih mudah mendapatkan keuntungan jika diterapkan oleh media spesialis dibandingkan media umum. Dalipin pun berpendapat sama dengan Anton, bahwa memanfaatkan fitur berlangganan untuk news space akan sulit. Namun, Dalipin optimis bahwa media daring berbayar akan hidup dan jaya pada waktunya.

Dengan konsep tanya-jawab sambil sesekali merespons pertanyaan dari peserta juga, para narasumber juga banyak berbagi mengenai pengalaman pribadinya, seperti liputan yang paling berkesan, hingga hal-hal positif yang dirasakan dengan bergabung di media internasional. Tidak mau ketinggalan, moderator pun juga turut membagikan pengalamannya untuk menanggapi beberapa pertanyaan peserta. Diakhiri dengan ungkapan singkat dari Ketua KAHIGAMA, diskusi pun resmi ditutup pukul 17.15 WIB. (/hfz)