Munculnya krisis pada 1997 dan terakhir pada 2008 menyebabkan guncangan hebat perekonomian dunia tak terkecuali di Indonesia. Meski saat ini ekonomi sudah membaik, kekhawatiran terjadinya krisis ekonomi dunia seperti tahun-tahun sebelumnya masih menghantui. Di sisi yang lain, krisis yang dialami negara adidaya Amerika Serikat dan Eropa pada kenyataanya juga berdampak pada perekonomian negara lain. Hal itu berarti ketergantungan atau keterhubungan perekonomian dunia makin terasa pada era global saat ini. Apalagi dengan perpindahan kapital yang sangat banyak pun cepat ternyata sangat mempengaruhi perekonomian dunia.
Hal tersebut disampaikan dalam keynote speech oleh Rizal Affandi Lukman (Deputi Kerja Sama Ekonomi International Selaku Sherpa G20 Kementerian Koordinator Pereknomian) dalam acara seminar bertajuk “Peningkatan Peran Indonesia dalam Forum G20 untuk Mendorong Perekonomian Nasional dan Membawa Aspirasi Negara Berkembang” pada Kamis (7/5) pagi. Acara yang bertempat di Hotel Royal Ambarrukmo ini diselenggarakan oleh Kementerian Luar Negeri, BI, Kemenko Perekonomian, Bappenas berkerjasama dengan ASEAN Studies Center Fisipol UGM.
Acara seminar ini diadakan sebagai upaya mensosialisasikan pada masyarakat yang lebih luas terkait adanya keterlibatan dan peran Indonesia dalam forum G20. Hal ini menjadi penting lantaran Indonesia merupakan satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang ikut serta dalam forum G20. Tentu saja selain membawa isu nasional untuk diperjuangkan di forum tersebut, Indonesia juga harus mampu membawa isu-isu negara berkembang ke tingkatan yang lebih luas seperti forum G20. Nantinya, hasil diskusi tersebut diharapkan mampu menjadi cetak biru kebijakan Indonesia dalam keikutsertaanya di G20.
Untuk melengkapi kegiatan itu, setelah seminar diadakan sesi diskusi dengan para ahli guna memetakan kebijakan/isu apa saja yang layak untuk diperjuangkan dalam forum G20. Dengan tujuan sama, sesi diskusi berlanjut pada hari Jumat (8/5) yang dihadiri oleh lintas instansi sebagai aktor pelaksana G20.
Seminar ini menghadirkan empat pembicara dari empat institusi pemerintahan yang terlibat langsung dengan agenda G20 dan dua para penanggap kritis. Keempat pembicara yakni, Toferry P. Soetikno (Direktur Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup Kementerian Luar Negeri), Rizal Edwin M (Asisten Deputi Kerja Sama Ekonomi Multilateral dan Pembiayaan Kemenko Perekonomian), Syurkani I. Kasim (Kepala PKPPIM, BKF Kementerian Keuangan) dan Iss S. Hafid (Kepala Divisi Hubungan Internasional, BI). Sementara itu, dua penanggap kritis merupakan dosen dari UGM yakni Akhmad Akbar Susamto (Dosen FEB) dan Gabriel Lele (Dosen Fisipol sekaligus Peneliti pada ASEAN Studies Center).
Menurut Toferry, di dalam perekonomian dunia yang semakin terhubung satu dengan yang lain ini keikutsertaan Indonesia dalam forum G20 memiliki arti penting. Dalam hal ini, menjadi anggota G20 secara tidak langsung menempatkan Indonesia sebagai salah satu pelaku utama perekonomian dunia. Dengan posisi yang demikian Indonesia harus mampu memanfaatkan keikutsertaanya dalam rangka memajukan perekonomian domestik dan juga regional terutama negara-negara berkembang.
“Keikutsertaan Indonesia dalam G20 berarti menempatkan Indonesia sebagai main player perekonomian dunia. Artinya, Indonesia harus mampu mempergunakan forum tersebut untuk membantu pencapaian kepentingan nasional dan juga kepentingan negara berkembang. Dengan demikian Indonesia diharapkan mampu berperan dalam kancah masyarakat global,” ungkap Toferry.
Tidak jauh berbeda dengan Toferry, menurut Syurkani, di dalam forum G20 Indonesia harus terus berperan terutama dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi. Dalam mendorong pertumbuhan perekonomian ini, Indonesia harus mampu memanfaatkan peran ganda. Maksudnya, peran ganda di sini ialah peran meningkatkan pertumbuhan domestik maupun regional. Jika demikian halnya, maka Indonesia harus memiliki strategi (isu) penting yang harus di bawa dalam forum tersebut. Syurkani mengusulkan, ada tiga isu yang harus terus didengungkan dalam forum tersebut jika Indonesia ingin memaksimalkan peran gandanya.
“Demi terciptanya pertumbuhan perekonomian baik ditingkatan domestik maupun regional Indonesia perlu mendorong tiga isu penting sebagai strategi utama. Pertama, mendorong terus reformasi global lembaga keuangan dunia seperti IMF, ADB, dan World Bank. Kedua, Indonesia perlu terus mendorong transparansi global energy market terutama masalah energi fosil. Ketiga, mendorong pembiayaan bidang infrastruktur menjadi bagian dalam strategi utama pembangunan global,” tutur Syurkani.
Di sisi yang lain, berbeda dari pemateri sebelumnya, Iss Hafid selaku Kepala Divisi Internasional Bank Indonesia lebih banyak menekanan pada isu finansial. Menurutnya, dalam tingkatan global Indonesia harus memperjuangan tiga isu finansial penting. Pertama, masalah representasi yang cukup terutama dalam keikutsertaan baik dalam forum-forum terutama dalam pembahasan masalah finalsial global. Kedua, memperkuat pengawasan finansial global. Ketiga, memperkuat global financial safety net bagi negara-negara lain. Ketiga hal ini diharapkan mampu melindungi jika terjadi krisi ekonomi seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Sementara itu, berbeda dengan para pemateri, dua penanggap kritis lebih bersikap skeptis terhadap keikutsertaan dan peran Indonesia dalam G20.
Menurut Ahmad Susamto, keberadaan Indonesia yang merupakan satu-satunya dari negara berkembang patut diapresiasi dan juga diawasi. Dalam hal ini, Ahmad mengingkatkan forum G20 harus dijadikan sebagai ajang yang substantif dan dapat diimplementasikan ketimbang politik. Selain itu, perlunya memperhatikan kepentingan masing-masing negara agar tidak terjadi gesekan dan jangan sampai dalam forum tersebut Indonesia hanya menjadi negara pen-stampel kebijakan negara maju.
“Indonesia harus berdiri sama tinggi dengan negara-negara maju. Jangan sampai Indonesia hanya sebagai negara pen-stempel kebijakan negara-negara maju,” tutur dosen FEB ini.
Di samping itu, menurut Gabriel Lele, isu-isu mengenai G20 saat ini masih mengalami dua permasalahan penting yakni, implementasi dan sosialisasi. Ia mempertanyakan tidak terintegrasinya mengenai isu kebijakan yang telah diambil dan siapa yang menjadi wakil dalam G20 sehingga tidak sampai ke masyarakat yang lebih luas. Kemudian, Gabriel juga merasa skeptis terhadap adanya forum G20 ini kalau nantinya hanya menjadi cara baru bagi negara maju untuk mendikte kebijakan nasional Indonesia.
“Jangan-jangan G20 adalah forum bagi negara maju untuk mengemas pertarungan ekonomi secara demokratis agar diterima oleh masyarakat global. Atau dengan kata lain, adalah cara baru untuk menerapkan domestifikasi isu global. Jika demikian kapan kebijakan pemerintah nasional sendiri bisa diimplementasikan?” ungkap dosen Manajemen dan Kebijakan Publik ini.
Menutup seminar, Gabriel menambahkan, keberhasilan Indonesia dalam forum G20 bisa dilihat dari seberapa bagus konsolidasi domestik dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. (D-OPRC)