Pertengahan Maret 2015 lalu, BATAN (Badan Tenaga Nuklir Nasional) mengumumkan akan membangun Reaktor Daya Eksperimen (RDE)/PLTN mini di Serpong, Tangerang. Proyek dengan nilai mencapai 1,6 T tersebut akan dikerjakan selama 2014-2019 oleh perusahaan pemenang tender yang dilakukan oleh BATAN. Hasilnya pembangunan akan dikerjakan oleh konsorium Rusia-Indonesia yakni NUKEM Technologies GmBH asal Jerman yang merupakan anak perusahaan Rosatom dari Rusia bekerjasama dengan PT. Rekayasa Engineering dan PT. Kogas Driyap Konsultan. Akan tetapi, pembangunan RDE tersebut dinilai tidak banyak menguntungkan bagi masyarakat Indonesia nantinya. Terlebih masih banyak kekhawatiran masyarakat akan dampak ekologis dan sosial yang sangat mungkin terjadi apabila dalam pelaksanaan terjadi kesalahan.
Pernyataan tersebut muncul dalam acara seminar yang bertajuk Dampak Sosial Teknologi Nuklir : Mendorong Keterbukaan Informasi Publik terhadap Rencana Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang diselenggarakan oleh LSM Masyarakat Reksa Bumi (Marem) dan Sociology Research Center (Sorec)pada Kamis (25/6) siang. Acara yang bertempat di R. Seminar Lt. 2 Perpustakaan Pusat UGM itu menghadirkan empat pembicara. Keempatnya yakni Prof. Dr. Rinaldy Dalimi (anggota Dewan Energi Nasional), Prof. Dr. Heru Nugroho (Guru Besar Sosiologi UGM), Lilo Sunaryo, Ph.D. (Ahli Turbin, Marem), dan Iwan Kurniawan, Ph.D. (Pakar Fisika Nuklir Eksperimen) serta dimoderatori oleh Arie Sujito, M.Si.Seminar yang dihadiri sekitar 100 orang ini dihadiri oleh mahasiswa dan dosen ataupun peminat mengenai isu nuklir dan PLTN, dari Fisipol maupun dari Fakultas Teknik Jurusan Teknik Fisika UGM serta beberapa dari Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir.
Menurut Prof. Rinaldy, pembangunan PLTN mini ataupun RDE seperti yang saat ini dilakukan oleh BATAN tersebut belum selayaknya dilakukan. Menurutnya, pilihan penggunaan nuklir sebagai alternatif energi dilakukan setelah melihat kemungkinan lain yang sudah dilaksanakan.
“Berdasarkan Priotitas Pembangunan Energi Nasional, penggunaan energi nuklir ditempatkan sebagai pilihan terakhir. Dalam hal ini, pilihan terakhir ini dimaksudkan ketika pilihan-pilihan sebelumnya sudah terlaksana dan tidak berhasil,” tutur pria yang pernah menjadi Dekan Fakultas Teknik UI itu.
Selain melenceng dari prioritas pembangunan energi yang yang sudah ditetapkan, Prof. Rinaldy juga menilai bahwa hingga saat ini BATAN belum punya kemampuan untuk mengelola reaktor nuklir terlebih PLTN. Apalagi membangun sebuah PLTN itu, dengan teknologi yang aman dengan teknologi terbaru memerlukan biaya yang sangat besar.
“Sayangnya pembangunan PLTN memerlukan biaya yang tinggi. Akan lebih baik jika uang untuk membangun PLTN digunakan untuk membangun pembangkit listrik kecil di daerah terpencil,” ungkapnya.
Pada sisi yang lain, menurut Iwan Kurniawan, Ph.D., pembangunan RDE dengan generasi 4 yang dinilai lebih aman tersebut sayangnya masih belum teruji secara nyata. Bahkan, menurut Iwan, rancangan milik Rusia yang akan juga diterapkan di Indonesia belum pernah dibuat sebelumnya. Ia khawatir jika nantinya proyek RDE di Indonesia tersebut justru dimanfaatkan oleh Rusia untuk merealisasikan proyek RDE generasi 4 guna dikembangkan teknologinya namun dengan dana dari Pemerintah Indonesia.
“Pembangunan RDE di Indonesia akan menjadi eksperimen Rusia dalam mengembangkan teknologinya. Akibatnya, Indonesia hanya mengelola tanpa punya kemampuan dan pengetahuan terhadap teknologinya,” sebutnya.
Senada dengan dua narasumber sebelumnya, menurut Lilo Sunaryo, Ph.D., pembangunan RDE tersebut belum begitu diperlukan oleh Indonesia. Lilojuga mengkritik BATAN lantaran kerap kali tidak memberikan keterbukaan informasi kepada publik, misalnyadalam hasil kajian BATAN di Jepara dan Bangka Belitung yang tidak diketahui secara luas. Ia juga mengungkapkan bahwa pembangunan pembangkit listrik merupakan kewenangan PLN bukan BATAN.
“Kami mengusulkan supaya BATAN dikembalikan sesuai fungsinya. Kalau perlu berada di bawah LIPI untuk melakukan tugas penelitian atom,” tutur pria yang menjadi Ketua Marem ini.
Sementara itu, Prof. Heru Nugroho lebih menekankan terkait pembangunan energi yang kini tidak berpihak pada alam. Dalam hal ini, eksplorasi terhadap alam hanya digunakan untuk menggenjot pertumbuhan industri guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Prof. Heru juga mengusulkan akan lebih baik kita melakukan ‘demokrasi’ juga dengan alam.
“Selama ini kita hanya melakukan demokrasi terhadap sesama manusia, belum berdemokrasi dengan alam. Maksudnya adalah bertindak adil tidak hanya terhadap manusia tetapi juga alam,” kata pria yang menjabat Guru Besar Sosiologi ini.
Ia juga mengingatkan tentang bahayapseudo kebutuhan energi. Dalam hal ini kebutuhan energi yang tinggi bisa jadi merupakan konstruksi semata.
“Kita harus berhati-hati akan adanya kebutuhan energi yang tinggi ini. Jangan-jangan kebutuhan energi ini hanya untuk kepentingan idustrial atau ekonomi-politik semata,” tandasnya. (D-OPRC)