Kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlangsung selama dua periode (2004-2009, 2009-2014) merupakan bagian sejarah Indonesia yang tidak bisa dielakan. Dalam konteks sejarah, terutama sejarah demokrasi di Indonesia, Presiden Yudhoyono merupakan presiden pertama Indonesia yang dipilih lewat demokrasi langsung menggunakan sistem pemilu. Selain itu, Presiden Yudhoyono juga merupakan presiden pertama Indonesia yang mampu mempertahankan kekuasaanya selama dua periode berturut-turut. Keberhasilan kemimpinannya selama dua periode tersebut dinilai banyak kalangan lantaran mampu membawa Indonesia pada stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi yang cukup baik.
Meski demikian, beberapa aspek lain dalam era kepemimpinannya masih menuai kritik bahkan hingga sekarang. Misalnya rekam jejak kebijakkan naiknya harga BBM, kebijakkan luar negeri yang masih kurang jelas,hingga munculnya banyak kasus pelanggaran HAM. Kendati para pendukung SBY memuji keberhasilannya dalam melakukan konsolidasi demokrasi namun justru banyak para expert menilai sebagai sebuah dekade stagnasi.
Hal tersebut muncul dalam acara review buku The Yudhoyono Presidency : Indonesia’s Decade of Stability and Stagnation pada Kamis (11/6) pagi. Acara yang diselenggarakan oleh Sosiology Research Center (SOREC) Jurusan Sosiologi bekerjasama dengan Indonesia Project, Australia National University (ANU) bertempat di R. Seminar Timur Gd. Pascasarjana Fisipol dengan dihadiri oleh mahasiswa baik S1, S2 dan S3 serta beberapa praktisi politik. Acara tersebut menghadirkan Dr. Dirk Tomsa dari La Trobe University Melbourne sebagai narasumber sekaligus merupakan salah satu editor buku. Turut hadir sebagai reviewer yakni Dodi Ambardi, Ph.D. (Dosen Komunikasi UGM) dan Rimawan Pradiptya, Ph.D. (Dosen FEB UGM) dengan dimoderatori oleh Najib Azka, Ph.D. (Wakil Dekan Bidang Kerjsama, Alumni dan Penelitian).
Dalam acara tersebut, Dirk Tomsa mengungkapkan bahwa pada era kepemimpinan SBY ditandai dengan stabilitas ekonomi tetapi di sisi yang lain ditandai dengan stagnasi. Dalam hal stabilitas ekonomi, kepemimpinan Presiden SBY disokong terutama oleh kondisi politik yang cukup stabil. Terutama pada periode ini militer tidak lagi ambil bagian dari pertarungan politik secara terbuka.
Namun demikian, pada beberapa asepek seperti kebijakkan luar negeri dan HAM Presiden SBY mendapat kritik yang cukup pedas.
“Secara umum kondisi ekonomi pada era Presiden SBY cukup baik dengan pertumbuhan pada kisaran 5%. Akan tetapi, beberapa expert berpendapat lewat buku ini, pada masalah kebijakkan luar negeri, HAM, dan terutama reformasi politik SBY banyak mendapat kritik,” ungkap Dirk.
Dirk juga mengungkapkan bahwa pada era Presiden SBY, meskipun stabilitas ekonomi baik dalam dua periode kepemimpinannya, akan tetapi kondisi demokrasi tidak mengalami perubahan bahkan cenderung mengalami stagnasi. Ia mencontohkan, dalam konteks demokrasi masih banyak yang tidak tahu bahwa demokrasi harusnya menjadi satu-satunya aturan main dalam berpolitik.
“Presiden Yudhoyono mesti dilihat sebagai presiden yang berhasil melakukan stabilisasi tetapi tidak berhasil menciptakan konsolidasi demokrasi,” kata Dirk.
Berbeda dengan Dirk, Rimawan pada kesempatan tersebut lebih banyak berbicara pada sektor ekonomi pada era kepemimpinan Presiden SBY. Rimawan juga mengkritik kebijakkan-kebijakkan SBY terutama pada periode 2009-2014 terkait kebijakkan subsidi dan pembedaan harga BBM. Selain itu, ia juga mengkritik kabinet Presiden SBY yang memasukkan para politisi sehingga mengakibatkan kinerjanya tidak terlau baik.
Rimawan juga menilai, kepemimpinan SBY kurang berhasil memanfaatkan periode kedua untuk bisa memberikan trobosan dan kemajuan bagi Indonesia.
“Kepemimpinan SBY ternyata lebih dekat dengan konservatif dan mengarah pada satifying. Artinya, meski berhasil merangkul semua elemen dan mampu meredam konflik, tapi tidak berhasil memberikan terobosan yang berarti meski tahu ia tidak bisa mencalonkan lagi tahun depan,” tutur Rimawan.
Sementara itu, Dodi Ambardi berpendapat buku ini merupakan salah satu buku komprehensif yang mampu memberikan rekam jejak SBY sebagai Presiden Republik Indonesia. Meski demikian, ia juga memberi catatan terhadap hadirnya buku ini ditengah-tengah masyarakat paska kepemimpinan Presiden SBY. Ia berpendapat bahwa buku ini berani mengambil posisi untuk menyederhanakan masalah bahwa semua keberhasilan dan kegagalan ketika ia memimpin adalah sedikit banyak merupakan tanggung jawab SBY.
“Pertanyannya kemudian, sampai sejauh apa peran SBY ketika ia memimpin memberi pengaruh terhadap semua kejadian di Indonesia? Sayangnya dibuku ini tidak diungkap dengan sangat jelas mekanisme yang menjadikan fenomana itu adalah benar ada peran dan campur tangan SBY,” tandasnya.
Selain itu, Dodi juga memberikan masukkan perlunya membedakan periode pertama dan kedua kepemimpinan SBY sehingga dinamika dan mekanisme tersebut bisa diungkap dengan lebih jelas. (D-OPRC, Foto: Dokumentasi Sorec)