Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM ikut merayakan Hari Kartini dengan membuat diskusi berjudul Commemorating Kartini’s Day: Empowering Women Through Digital Activism di Auditorium Fisipol pada Senin (23/4). Hadir sebagai pembicara seorang aktivis perempuan, Kate Walton, yang merupakan pendiri Jakarta Feminist Discussion Group (JFDG).
Terkait aktivisme di media digital, Kate memulainya dengan sederet pertanyaan. Pernahkah kita menandatangani petisi online? Pernahkah kita ikut donasi online? Apakah kita pernah membagikan pengalaman buruk beserta saran menghindarinya di media sosial? Apabila pernah melakukan hal semacam ini, menurut Kate, kita sudah melakukan aktivisme di media digital.
Kate kemudian menjelaskan keunggulan gerakan daring yang mungkin semua orang sudah mengetahuinya. “Gerakan daring bisa menjangkau lebih banyak orang. Semua yang memiliki akses ke internet bisa dijangkau,” kata Kate. “Gerakan daring juga membantu orang yang cenderung diam atau malu untuk bisa speak out,” lanjutnya. Selain itu, gerakan daring mampu mendorong orang memulai tindakan kecil, seperti membagikan pengalaman dan pengetahuan seputar hak-hak perempuan di media sosial.
Kate mengakui, internet telah membantu gerakan perempuan menjadi lebih berkembang. Perempuan asal Australia yang sudah menetap selama 6 tahun di Indonesia ini berpendapat, orang Indonesia sudah lebih sadar terhadap isu gender sejak masifnya gerakan perempuan di media daring. “Tidak hanya isu gender di Indonesia, tapi orang Indonesia sudah mulai mengikuti isu-isu gender di berbagai belahan dunia,” ujarnya.
Kate menepis anggapan bahwa gerakan daring tidak berlanjut ke gerakan di dunia nyata. Ia memberi contoh perkembangan JFDG. Awalnya, tujuan ia mendirikan JFDG hanya untuk diskusi saja. Lama-lama kelamaan banyak orang yang tertarik dengan bahasan yang diangkat oleh JFDG. Akhirnya, para anggota sepakat untuk membuat kegiatan di dunia nyata.
Salah satu kegiatan besar yang dilaksanakan oleh JFDG adalah Women’s March. Di Jakarta, aksi ini dilaksanakan hari Sabtu (3/3) dengan mengusung tajuk #LawanBersama. Aksi tersebut menyuarakan berbagai tuntutan di antaranya mendesak pemerintah menjamin dan menyediakan akses pemulihan bagi korban kekerasan, menghentikan intervensi negara terhadap tubuh, dan menghapus stigma, diskriminasi, praktik, dan budaya kekerasan berbasis gender.
Kate bercerita, Women’s March pertama kali muncul di Amerika pada bulan Januari 2017. Para aktivis di Jakarta kemudian terinspirasi dan membuat kegiatan serupa. Women’s March yang pertama kali dilaksanakan di Jakarta pada bulan Maret 2017, diikuti oleh 800 peserta. Jumlah ini kemudian meningkat pada aksi yang sama di tahun 2018, yaitu lebih dari 2000 peserta. Aksi ini kemudian menjalar ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Surabaya, Kupang, Pontianak, Malang, Bandung, dan Sumba.
“Hampir setengah yang ikut Women’s March belum pernah ikut aksi. Mereka terinspirasi konten-konten di media digital,” Kate semakin semangat bercerita. Ia menunjukkan, betapa gerakan daring mempunyai efek yang luar biasa. Bahkan, kata Kate, koordinator Women’s March di seluruh Indonesia awalnya tidak saling kenal. Para koordinator itu saling berbagi ide, strategi promosi, dan penggalangan dana melalui medium digital. Akibat masifnya gerakan Women’s March tahun ini, Presiden Jokowi pun mengundang beberapa pegiat aksi ini ke istana negara saat Hari Kartini untuk saling berbagi masukan dan saran.
Kampanye masif di media digital, menurut Kate, penting untuk menarik perhatian global. Sebab, negara kerap baru mengambil tindakan apabila ada tekanan dari dunia internasional. Misalnya seperti yang terjadi di Nigeria. Penculikan yang dilakukan oleh Boko Haram terhadap para gadis di Chibok, Nigeria, awalnya tidak direspon oleh pemerintah. Setelah ibu-ibu melakukan aksi yang kemudian membuat hastag #BringBackOurGirls digunakan lebih dari sejuta kali dalam seminggu, pemerintah Nigeria baru melakukan tindakan yang nyata.
Untuk contoh dalam negeri, Kate bercerita soal kasus Yuyun, gadis SMP di Bengkulu yang tewas setelah diperkosa 14 laki-laki. Kejadian keji ini sempat tak ada gaungnya. Yang memberitakan hanyalah media lokal. Saat kasus ini belum menjadi perbincangan nasional, Kate mengetahuinya ketika ia sedang mengerjakan proyek menghitung pembunuhan perempuan. Ia dan para aktivis hak-hak perempuan yang mengetahui kasus ini, berusaha agar peristiwa tersebut mendapatkan perhatian media nasional. Setelah penyanyi dan aktivis kesetaraan gender Kartika Jahja mengunggah kasus ini di media sosial dengan hastag #NyalaUntukYuyun dan menjadi viral, media nasional baru meliputnya. Tidak berhenti di situ, kasus ini menjadi salah satu dorongan bagi Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kekerasan Seksual terhadap Anak pada 25 Mei 2016. “Ini menjadi bukti bahwa gerakan daring seperti #NyalaUntukYuyun memicu gerakan luring yang mendorong pemerintah untuk mengubah kebijakan,” jelas Kate.
Meskipun perempuan kini lebih berani mengungkapkan pelecehan seksual terutama melalui media sosial, tapi menurut Kate internet memiliki sisi buruk juga. Beberapa aktivis hak-hak perempuan kerap mendapatkan ancaman pemerkosaan hingga pembunuhan. Data-data pribadi mereka seperti alamat rumah dan lokasi kerja disebar untuk menguatkan ancaman. “Kami secara pribadi dan komunitas JFDG kerap mendapatkan ancaman dan perkataan yang tidak pantas di media sosial,” kata Kate.
Kate menyadari keadaan semacam ini bisa membuat trauma untuk para aktivis. Sehingga, kadang kala aktivis juga perlu berhenti sejenak untuk merawat diri. “Setelah Women’s March tahun ini, banyak teman-teman yang butuh istirahat. Karena trauma akibat ancaman memang bisa lama. Sesuatu yang sangat penting di sini adalah self care. Kita harus tahu batasan kita. Apakah kita cukup kuat melakukan ini?” Kate seperti melakukan renungan terhadap diri sendiri.
Terakhir, Kate mengingatkan untuk tidak serta merta membagikan informasi korban di media sosial. Pasalnya, hal itu masih kerap dilakukan oleh beberapa warganet. “Si korban juga harus sadar efeknya akan bagaimana bila kasusnya tersebar di internet. Mungkin memang mereka tidak akan yakin seratus persen untuk membagikan ceritanya. Tapi, setidaknya kita memberikan pilihan,” ujarnya.(/dim)