Mengawali sesi diskusi, narasumber pertama, Sumarsih menceritakan bahwa ketika berbicara mengenai reformasi bayangan yang muncul dalam pikirannya adalah demonstrasi mahasiswa yang menuntut ditegakkannya agenda reformasi. Putra beliau Bernardus Realino Norma Irawan merupakan salah satu korban penembakan pada tragedi Semanggi 1. Bagi Sumarsih, hidup dan mati ada di tangan tuhan, namun cara meninggal wawan dan kawan-kawannya yang menjadi masalah. Sebagai bentuk upaya menuntut keadilan, beliau melakukan aksi kamisan sejak tahun 2007 dan pada perkembangannya mendapat banyak dukungan yang silih berganti dari berbagai daerah.
Menyambung narasumber sebelumnya, Keanu menjelaskan bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia saat ini sedang direpresi. Berdasarkan catatan Amnesty Internasional terdapat 119 kasus represi hak kebebasan berpendapat yang memanfaatkan pasal-pasal karet dalam UU ITE. Oleh karena itu, penting untuk merevisi aturan hukum, karena berbagai pembatasan atau serangan-serangan digital dapat membuat seseorang lebih takut berekspresi dan berpendapat. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa terdapat kemunduran dari upaya demokratisasi menuju otoritarianisme.
Sepakat dengan penjelasan Keanu, narasumber ketiga yaitu Eko Prasetyo mengungkapkan kecemasannya jika perjuangan di tahun 1998 banyak mengalami kegagalan. Dalam penuturannya ia mengungkapkan bahwa tragedi kekerasan justru menjadi tragedi politik yang dipertahankan hingga saaat ini. Harapan yang tersisa saat ini berada di tangan gerakan mahasiswa. Namun sayangnya, gerakan mahasiswa saat ini sangat mudah dipatahkan dan surut. Bagi Eko, kampus yang seharusnya menjadi pendukung bagi berbagai gerakan justru berubah menjadi ruang yang membatasi gerak mahasiswa. Oleh karena itu, tidak terdapat kekuatan oposisi yang kuat. Untuk saat ini, negara perlu membuat garis demarkasi yang jelas antara era otoritarian dengan era reformasi melalui upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM. (/Mdn)