Ditulis oleh Derajad Widhyarto
Sosiolog Fisipol UGM
Mengutip pendapat dari Levebre (1991) dalam bukunya The Production of Space , bahwa ruang menciptakan nilai , norma dan status social , pernyataan atas ruang tersebut relevan untuk menjelaskan fenomena gaya hidup tinggal di apartemen yang marak saat ini, khususnya di kota-kota sekunder.
Sebagai hunian vertical dengan fasilitas kesenangan yang lengkap, apartemen telah menciptakan nilai , norma dan status social baru bagi penghuninya. Berbeda dengan nilai , norma dan status social bagi masyarakat yang tinggal di kampong dan perumahan yang lebih menonjolkan nilai, norma kebersamaan. Sebaliknya mereka yang tinggal di apartemen lebih menonjolkan kesan tertata, eksklusif , elite dan modern.
Tentu saja kesan-kesan tersebut tidak terjadi alamiah. Melainkan by design. Dengan kesan-kesan tersebut penghuni apartemen akan mempunyai hak pribadi (private) dan diistimewakan (previllege) , untuk membedakan dengan masyarakat yang tinggal di tempat lainnya.
Konsep hunian apartemen tersebut bukan asli Indonesia, melainkan diimpor dari belahan dunia lain. Persoalannya tidak hanya konsep dan desainnya yang terimpor, tapi masalah socialnya pun terimpor. Makin banyaknya orang yang mencari keistimewaan dan ingin diistimewakan tersebut telah ditangkap pengembang sebagai peluang pasar, sehingga menyuburkan pembangunan apartemen.
Apartemen dianggap menawarkan jalan keluar kehidupan social baru yang serba ‘terbatas’. Keterbatasan inilah yang dicari masyarakat yang tinggal di apartemen tersebut. Misalnya, apartemen memiliki sistem keamanan berlapis, identitas pribadi , pengakuan social, sampai dengan isu investasi. (dilansir dari Tribun Jogja, Minggu (15/2/2015), halaman 9)