Mendengar Cerita di Balik Foodgrammer dalam Digital Discussion #30 CfDS

Yogyakarta, 10 Agustus 2020—Center for Digital Society Fisipol UGM kembali hadir dengan Digital Discussion yang ke-30. Dengan mengangkat tajuk “The Story Behind Foodgrammer”, CfDS mengundang Dadad Sesa—founder dan owner dari Javafoodie, sebagai pembicara. Acara yang diadakan melalui platform Whatsapp Group ini dipandu oleh Made Agus Bayu, selaku event assistant CfDS, sebagai moderator.

Sebagai pembuka, Bayu menanyakan pada para peserta diskusi mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan kegiatan foodgrammer. Berbagai jawaban yang diterima dari para peserta pun ditanggapi oleh Dadad. Namun sebelum masuk ke pembahasan yang lebih rinci, Dadad menceritakan perjalanannya menjadi foodgrammer terlebih dahulu.

Memulai pengalamannya sejak 2010 sebagai foodblogger, Dadad pun perlahan belajar mengenai teknik pengambilan foto, editing, lighting, caption yang menarik, dan komposisi makanan secara bertahap. Namun, di balik itu semua, tentu saja modal utama yang diperlukan untuk menekuni bidang ini menurut Dadad adalah harus ada rasa cinta dulu. “Kalau dari awal udah niatnya profit, aku rasa ya tidak bisa sampai ke tahap ini,” kata Dadad menanggapi pertanyaan seputar modal utama. Selanjutnya, kecintaan itu harus diiringi juga dengan konsistensi dan kemauan belajar.

Selain modal yang bersifat personal seperti tadi, modal profesional semacam meningkatkan kemampuan dan evaluasi juga dibutuhkan. Dadad membagikan cerita dan pengalamannya saat melakukan evaluasi untuk Javafoodie. Ia mulai melakukan evaluasi ketika sudah membawa Javafoodie ke arah komersil. Mulai dari evaluasi konten berdasarkan feedback kliennya, evaluasi perihal manajemen waktu, juga evaluasi pengelolaan media sosial.

Untuk proses penyaringan konten sendiri, Dadad memilih untuk tidak terlalu mengikuti tren makanan agar bisa tampil berbeda. “Saya prefer streetfood. Ya siapa lagi yang membantu meramaikan pedagang-pedagang atau kuliner tradisional itu kalau bukan kita yang masih muda-muda ini kan,” jawab Dadad saat ditanya konten makanan yang ia lebih suka.

Dadad juga menyatakan bahwa ia selalu memilih makanan yang akan ia berikan review. “Karena itu selalu lihat dari akun Instagram produknya, apakah kira-kira cocok di akun saya. Tidak semua diterima juga,” tanggapan Dadad saat seorang peserta bertanya bagaimana menyikapi permintaan review makanan yang tidak disuka.

Secara keuntungan, selain dari segi ekonomi, Dadad menyampaikan bahwa bidang ini membawanya mendapatkan banyak relasi. Ia banyak bertemu dengan lingkaran dan kenalan baru, serta mendapatkan referensi tempat-tempat baru.

Keuntungan-keuntungan ini ia dapatkan dari prosesnya mengelola konten. Mulai dari ikut grup-grup kuliner di Facebook, hingga mengobrol dengan para pedagang. “Jadi ya, tidak sembarang memfoto makanan, lalu makan dan pulang saja sebenarnya, cukup panjang prosesnya,” ungkap Dadad.

Dadad juga banyak mengungkapkan risiko, tips pengelolaan konten di platform yang berbeda, juga prospek dari foodgrammer ke depannya. Semuanya ia ceritakan berdasarkan pengalaman yang ia miliki.

“Jangan lupa kalau menemukan spot kuliner yang unik jangan lupa di-sharing, siapa tahu bisa jadi info untuk banyak orang. Jangan ragu mencoba yg baru juga. Don’t judge a book by its cover,” ucap Dadad saat moderator meminta pernyataan penutup darinya—sekaligus mengakhiri diskusi pukul 21.00 WIB. (/hfz)