Bertempat di Lobby MAP, MAP Corner-CLUB MKP (6/3) lalu mendiskusikan mengenai hubungan antara kapitalisme dan perempuan. Bersama Linda Sudiono, dosen dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta dan Ruth Indiah Rahayu, peneliti Feminis dan Manager Program Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif, diskusikan bagaimana keadaan struktural maupun sejarah memotret perempuan.
Untuk melihat permasalahan ini, Linda mengawali dengan mengenalkan corak kapitalisme yang sudah terbentuk saat masa Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit memiliki peran besar dalam membentuk corak tersebut, karena terdapat sistem feodalisme. Terdapat fragmentasi alat produksi pada masa Kerajaan Majapahit sehingga alat produksi menjadi tidak terkonsentrasi yang menghambat revolusi borguese terjadi. Revolusi juga dihambat oleh faktor politik etis Belanda, dimana kebijakan teresebut membuat alat produksi tidak digunakan di Nusantara.
Mengenai permasalahan kekerasan yang kerap dialami perempuan, Linda melihat itu sebagai dampak karena adanya persoalan struktural yang belum terselesaikan. “Kapitalisme lewat budaya seksisme yang disebarkannya, membuat beberapa stereotype negatif,” terang Linda.
Hal ini yang menyebabkan munculnya pembedaan antara perempuan dan laki-laki, seperti upah perempuan saat bekerja bisa lebih rendah, terjadi kapitalisme keluarga, dan kontradiksi kelas. Tidak hanya menciptakan stereotype, kapitalisme juga bisa menurunkan harga uang. Saat ingin mendapatkan profit tinggi dan alat produksi mahal, yang seringkali dikorbankan adalah upah pekerja, terutama upah perempuan. Karena keadaan ini, perempuan hanya menerima 89% upah dibandingkan laki-laki walau bekerja penuh waktu.
Ruth pun memberikan perspektif lain untuk melihat permasalahan perempuan dan kelas dari gerakan sosial yang pernah terjadi. Melalui pendekatan historis, dengan merefleksikan kembali kepada revolusi industri yang terjadi pada awal abad-20, revolusi ini menyebabkan perubahan fundamental terhadap peran perempuan. “Awalnya, perempuan hanya memiliki pekerjaan domestik yaitu pekerjaan rumah tangga. Saat revolusi industri dimulai, proses penciptaan keluarga juga terjadi, sehingga perempuan tersubordinasi menjadi hak milik suaminya.” terang Ruth.
Dari revolusi yang terjadi, perempuan menjadi memiliki peran ganda. Di rumah tangga sekaligus menjadi pekerja. Perempuan pun banyak terserap menjadi pekerja industri garmen dengan menghabsikan 18 jam perhari. Dengan jumlah jam yang panjang ini, terjadilah demo besar-besaran terjadi di Eropa dan Amerika untuk menuntut pemotongan jam kerja menjadi delapan jam sehari yang menjadi jam kerja buruh hingga saat ini.
“Jika melihat dari pandangan teoritis, penindasan terhadap perempuan tidak hanya disebabkan oleh kapitalisme,” tambah Ruth. Teori Feminisme Sosialis-yang melihat penindasan perempuan karena kapitalisme, dikritik pada tahun 1970an karena terjadi perdagangan perempuan, pelecehan seksual terhadap buruh perempuan, dan majikan yang memiliki asisten rumah tangga yang juga perempuan. Permasalahan ini tidak serta merta bisa dijelaskan dari sisi kapitalisme saja. Muncullah teori dual system, yang mengatakan bahwa penindasan terhadap perempuan tidak hanya disebabkan oleh kapitalisme, tapi juga oleh patriarki.
Dari kritik tersebut berkembanglah teori lain. Seperti Teori Reproduksi Sosial yang muncul sebagai alternatif untuk menghancurkan patriarki. Feminisme Marxisme pun datang dengan menggunakan basis Teori Reproduksi Sosial, dimana mereka menuntut hak perempuan dalam bentuk jaminan sosial kerja, dan keringanan kerja untuk menyusui anak berumur 0-2 tahun. Akhirnya, Ruth menyimpulkan, untuk menjawab fenomena gerakan sosial perempuan saat ini, latar belakang untuk melihat fenomena ini pun bermacam-macam. Saat membedah fenomena gerakan sosial perempuan, analisis yang muncul bisa berbeda antarperspektif, apakah menggunakan perspektif Feminisme Marxisme atau Feminisme Sosialisme.