Menelisik Pergulatan Pemuda untuk Merawat Relasi Melalui Film Marriage Story

Yogyakarta, 28 Oktober 2020—Mengangkat film Marriage Story, diskusi film ini dikemas dalam bentuk webinar dan menghadirkan co-author artikel “Who Marries Whom On Silver Screen? Religion And Social Class In Marriage Patterns In Contemporary Indonesian Films”, Nabhan Choiron, sekaligus co-editor Jurnal Studi Pemuda Edisi Spesial Pernikahan, Dr. Ariane Utomo. Dipandu oleh Dana Fahadi dari YouSure, diskusi ini akan mengulik lebih lanjut bagaimana pergulatan pemuda untuk merawat relasi dengan melihat apa yang ditampilkan dalam film Marriage Story.

Dalam rangka merayakan Pekan Pemuda 2020 “Pemuda 2020: Refleksivitas, Relasi, dan Perubahan Sosial”, YouSure Fisipol UGM mengadakan diskusi film bertajuk “Pasangan Muda dalam Sinema: Passion, Commitment, and Resilience” pada rangkaian acaranya.

Marriage Story (2019) adalah sebuah film original Netflix yang dibintangi oleh Scarlett Johansson dan Adam Driver. Film ini menggambarkan pasangan menikah muda di Amerika yang dilanda konflik sehingga memilih untuk bercerai. Film ini menjelaskan konflik, dinamika, dan isu-isu lain yang berperan di dalam perjalanan pasangan muda modern. Melalui film ini, para pemantik diskusi berusaha melihat dinamika relasi yang ada di dalamnya, bagaimana kontekstualisasinya dengan kondisi di Indonesia, sekaligus merespons kegelisahan dan pengalaman tentang relasi anak muda zaman sekarang.

Diskusi dimulai dengan pemaparan singkat dari moderator terkait film Marriage Story dan pengenalan pembicara. Selain kedua pembicara yang tertera di poster acara, diskusi ini juga kehadiran pembicara lain, yaitu Evi Eliyanah. Sebagai awalan, Dana bertanya pada para pembicara apa yang dirasakan setelah menonton film Marriage Story. Nubhan, menanggapi pertanyaan Dana dari sudut pandang seseorang yang belum menikah, ia menjadi khawatir dan berpikir apakah kehidupan menikah harus seperti yang ditayangkan Marriage Story. Nubhan juga melihat bahwa di Amerika dan Indonesia keberagaman serta kondisi sosial budayanya memiliki kemiripan. Kedua negara tersebut memiliki banyak provinsi (di Amerika berupa negara bagian), serta ada agama yang mendominasi di masing-masing negara. Sehingga, pernikahan dan perceraian jadi persoalan yang kompleks.

Sementara itu, dari film ini, Ariane menangkap bahwa tidak semua kisah cinta seindah cerita Cinderella. Ia juga melihat tren yang sangat berbeda tetapi tetap paralel dengan kondisi pasangan muda di indonesia, seperti pasangan yang bertemu di komunitas dan ekosistem yang sama, fenomena keluarga kecil yang hidup berjauhan dari keluarga besar, dan meningkatnya yang angka perceraian, terutama pasca reformasi.

Lebih lanjut, Ariane melihat pergeseran perspektif masyarakat mengenai perceraian sebagai fenomena yang sangat menarik, sebab meningkatnya angka perceraian tidak hanya terjadi pada pasangan muda saja, tetapi juga pasangan tua. Ia melihat bahwa dalam fenomena perceraian, terdapat juga konteks politik di dalamnya. Banyak faktor yang memengaruhi perubahan sosial yang kemudian memengaruhi dinamika pernikahan dan perceraian.

Dana kemudian bertanya pada para pembicara mengenai bagaimana suatu film dapat mengubah nilai di masyarakat. Evi menjelaskan bahwa suatu film diproduksi, dikonsumsi, dan didistribusikan oleh orang-orang yang memiliki perspektif dan pengalaman tertentu, sehingga film juga tidak terlepas dari unsur politis. Pengalaman personal inilah yang kemudian ditangkap oleh para penonton. Namun, penonton juga tidak menelan mentah-mentah apa yang ditampilkan dalam film. Penonton bernegosiasi antara apa yang diambil dari film dengan pengalamannya sendiri. Evi mengungkapkan bahwa di sini, film menjadi medium bagi pembuatnya dan kaca bagi penonton.

Lebih lanjut, Dana meminta para pembicara untuk menceritakan bagaimana film Marriage Story menampilkan hubungan relasi pasangan muda kontemporer, tren pernikahan pada masa pandemi ini, dan rekomendasi film Indonesia serupa yang mengangkat isu pernikahan. Sepanjang diskusi, dialog dilakukan secara interaktif antar pembicara—seluruh pembicara dan moderator banyak menanggapi jawaban satu sama lain. Tidak hanya itu, di akhir acara, diskusi juga melibatkan peserta yang ingin memberikan tanggapan dan pertanyaan. Setelah menjawab pertanyaan dan tanggapan peserta, para pembicara pun dipersilakan untuk memberikan pernyataan penutup. Diskusi pun resmi diakhiri setelah pertanyaan terakhir terkait fenomena pernikahan di film Mudik dijawab oleh para pembicara. (/hfz)