Tahukah kamu bahwa Presiden Jokowi dalam periode pemerintahan 2015 – 2019 menggerakkan program kehutanan bertajuk perhutanan sosial atau social forestry? Tidak tanggung-tanggung, demi komitmennya, pemerintah mengalokasikan hutan seluas 12,7 ha guna kepentingan perhutanan sosial.
Eits, masih asing dengan istilah perhutanan sosial?
Perhutanan sosial secara sederhana dapat dimaknai sebagai pemanfaatan hutan berbasis keadilan sosial bagi masyarakat yang hidup di sekitar hutan. Dalam hal ini, masyarakat yang sesungguhnya memiliki akses dan hak atas kelola hutan, didorong untuk terlibat dalam pengelolaan hutan. Dalam proses implementasi perhutanan sosial, sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat vital dan dibutuhkan.
Menilik isu tersebut dari sudut pandang lembaga swadaya masyarakat, One Week One Alumni kali ini mengundang Edy Marbyanto, seorang alumni Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Gadjah Mada (UGM), yang telah lama berkecimpung dalam dunia perhutanan sosial. Saat ini, beliau menjabat sebagai Strategic Area Manager of Human Capacity Development of Forests and Climate Change Programme, Gesellschaft Für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GMBH. Kegiatan ini sendiri dilangsungkan pada Jumat (3/11) di Ruang 11 BE Fisipol UGM, dengan peserta yang tidak hanya datang dari Fisipol namun juga dari Fakultas Kehutanan.
Lulus dari Fisipol pada 1991, Edy merantau ke Jakarta dan bekerja di Bina Swadaya, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di kesejahteraan sosial masyarakat. Di sini, ia ditugaskan untuk mendokumentasikan proses pembinaan perhutanan sosial di berbagai daerah seperti Brebes, Bumiayu, dan Tegal. Kemudian ia juga sempat terjun dalam bidang pencegahan kebakaran hutan serta pemberdayaan masyarakat pesisir di Kalimantan Timur. Dalam hal pencegahan kebakaran, ia memiliki misi untuk mendorong kelompok masyarakat agar lebih terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan yang diwujudkan dalam berbagai pelatihan untuk masyarakat maupun pengembangan regulasi di tingkat desa. Edy juga sempat menjadi konsultan freelance, bekerja untuk LSM Action Contre la Faim (ACF) di Jakarta, GTZ Capacity building untuk pemerintah daerah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kutai Timur, hingga bekerja untuk GTZ/GIZ dalam program forest and climate change programme.
Lama berkecimpung dalam dunia lembaga swadaya masyarakat, membuat Edy merasakan berbagai keuntungan terjun di dalamnya. “Pertama, sistem birokrasi dalam LSM itu cair,” ungkap Edy. Cairnya alur birokrasi dalam pola kerja LSM ini juga berimbas pada keuntungan lain, yaitu hubungan dengan atasan yang sifatnya tidak kaku. “Kita bisa saling berbagi pengalaman, bahkan berdebat. Asal debatnya profesional, ya,” tambah Edy. Lebih lanjut, bekerja dalam ruang lingkup LSM dapat membuka kesempatan pelatihan dan beasiswa yang luas bagi pekerja. Selain itu, tentu saja peluang implementasi ilmu yang dimiliki juga terbuka lebar.
Terkait hal ini, dalam perjalanan karirnya, Edy menyatakan bahwa ia menemukan wadah untuk menyalurkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya semasa kuliah. Misalnya dari mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, Pengantar Tata Hukum Indonesia, maupun Metodologi Riset Survei. Namun menurut Edy, bekal ilmu kuliah saja tidak cukup. “Kita dituntut untuk mengembangkan dasar-dasar yang didapat dari bangku kuliah untuk diterapkan di lapangan,” kata Edy. Lebih lanjut, Edy berpendapat bahwa mahasiswa UGM sudah memiliki modal yang bagus, namun sekali lagi harus dibarengi dengan pengembangan diri yang mumpuni. Beliau juga menjelaskan berbagai pengalaman baru yang didapatkan ketika memasuki dunia kerja, misalnya ketika ia harus menulis artikel meskipun tanpa dasar jurnalistik apapun ataupun pengalamannya dalam pengelolaan keuangan daerah. Sehingga, kemampuan untuk menyesuaikan diri dan terbuka pada tantangan juga suatu kualitas yang harus dimiliki.
Bermacam tantangan juga tak ayal dihadapi oleh Edy. Misalnya saja dalam perbedaan karakteristik antara masyarakat desa dan kota. Menurutnya, pengorganisasian lebih mudah dilakukan di desa ketimbang di kota, hal ini dikarenakan ruang dialog dapat dibangun dalam masyarakat. Selain itu, Edy juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan lintas budaya. “Prinsip dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung benar adanya,” ungkap Edy. Bagi beliau, selama niat dan pendekatan yang dilakukan baik serta tepat, masyarakat akan terbuka dan menerima. “Sehingga dalam pendampingan masyarakat, mereka akan percaya dan menerima kita,” pungkas Edy.