Mengenali Kekerasan Berbasis Gender dan Relasi Sehat

Yogyakarta, 12 November 2020—Career Development Center kembali dengan program Mental Health Society yang ketiga pada Kamis (12/11). Pada kesempatan kali ini, CDC mengangkat tema “Mengenali Relasi Sehat dan Kekerasan Seksual dalam Platform Digital” yang dibawakan oleh Kalis Kadarsih (Gender Equality Campaigner) dan Vincent dari PLUSH. Acara dimoderatori oleh Arie Eka Junia, Fisipol Crisis Center UGM.

Acara ini diselenggarakan oleh CDC yang bekerja sama dengan peer conselor dan Fisipol Crisis Center. FCC adalah fasilitas yang berada di bawah unit CDC yang bertanggung jawab dalam penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual yang terjadi pada warga Fisipol UGM.

Dalam diskusi ini, pembicara mengajak kita memahami Kekerasan Berbasis Gender (KBG). KBG adalah istilah yang memayungi tindakan kekerasan, berwujud atau dapat berdampak merugikan secara fisik, psikologis, seksual, sosial-ekonomi, online berdasarkan gender. KBG berakar dari norma gender dan relasi kuasa dimana gender penyintas dianggap subordinat. Bentuk kekerasan beragam sehingga melibatkan pelaku yang tidak tunggal dan siapapun berisiko mengalaminya

Sedangkan, KBG online terjadi di ranah digital/difasilitasi oleh teknologi dan perpanjangan dari kekerasan berbasis gender secara offline. Fakta menunjukkan bahwa KGBO mengalami peningkatan ketika teknologi internet ini lebih aksesibel. CATAHU 2020 melaporkan 281 kasus KBGO sepanjang 2019, serta pandemik covid terjadi peningkatan kasus KBGO. Sebanyak 95% kasus menyasar gender perempuan berupa perilaku agresif, pelecehan, penggunaan kata-kata kasar dan merendahkan, dan eksploitasi foto menyasar tubuh (UN). Sementara itu, 60% perempuan di dunia alami KGBO (take back the tech). “Jadi, melihat data ini dengan mayoritas bergender perempuan, saya menduga bisa saja pembuat laporan sebetulnya female/betina tetapi masih dibaca sebagai perempuan,” ungkap Vincent.

Vincent menyebutkan, bentuk-bentuk KBGO meliputi: online harassment/trolling, dogpiling/cyber-mob attacks, cyberstalking, doxing, outing, peretasan, impersonasi (pemalsuan profil), pencemaran nama baik, pornografi, pornografi anak, alterasi (distorsi foto dan video), honey trap, distribusi foto/video intim non-konsensual, pemerasan, dan sextortion. Dalam satu kasus yang harus diperhatikan, penyintas rentan mengalami lebih dari satu tindakan KBGO. Seseorang yang melakukan tindakan KBG tersebut memiliki motivasi beragam, seperti pembungkaman/kontrol; balas dendam, cemburu, marah; penghancuran martabat; kriminalisasi; maupun pemerasan/agenda politik. Dampaknya dapat berupa kehilangan peluang ekonomi, ketakutan dan trauma, isolasi, penyerahan diri terhadap kontrol, luka fisik, kriminalisasi, bahkan kematian.

Menurut Vincent, KBG offline maupun online sebetulnya tidak bisa dicegah selama kita masih memilih untuk hidup di bawah budaya patriarki yang mana hal itu berkesinambungan dengan norma-norma heteronormativitas. “Jadi, kita semua tetap rentan meskipun sedemikian rupa kita membatasi privasi kita,” tambahnya. Namun, jika KBGO terjadi, penanganan di bawah ini khusus untuk aduan secara:

  1. Sosial: dampingi penyintas, identifikasi bentuk-bentuk KBGO, dokumentasikan sebagai bukti, eksplore pilihan penanganan, bantu penyintas memutuskan, dan bentuk support system.
  2. Teknologi: mengamankan semua perangkat digital dan akun online, investigasi, mencari tahu IP address pelaku, mereport dan take down konten terkait, abaikan dan memutuskan koneksi sementara, ambil alih pengawasan dan penelusuran.
  3. Hukum: meminta bantuan hukum (penasehat hukum), membuat laporan kepada polisi, pengaduan kepada KOMNAS Perempuan, melindungi penyintas dan saksi.
  4. Psikologis: menjadi/mencari peer supports, rujuk penyintas untuk akses konseling kepada psikolog yang berperspektif gender.

Budaya patriarki sangat berpotensi menimbulkan kekerasan berbasis gender. Menurut Kalis, kita terbiasa dibesarkan dengan pola pengasuhan yang mengelompokkan peran berdasarkan jenis kelamin. Misalnya, perempuan identik dengan urusan domestik dan laki-laki yang selalu maju ketika berurusan dengan publik. Untuk mengurangi KBG ini, Kalis menyampaikan bahwa relasi sehat yang berbasis kesetaraan memang diperlukan, seperti mutual respect dan mutual trust. Siaran ulang diskusi dapat dilihat di channel Youtube Fisipol UGM. (/Wfr)