Ditulis Oleh Derajad Widhyharto
Sosiolog UGM
Sebagian orang menganggap berbelanja di mal serasa menjadi bagian dari masyarakat global, apa yang kita beli sama dengan apa yang dibeli oreng lain di belahan dunia lain pula. Mal telah menaikkan gengsi, menyamakan jenis, selera, rasa dan ukuran kebutuhan manusia.
Hal ini terjadi karena barang-barang yang disediakan di mal adalah barang yang diproduksi manajemen modern dengan dukungan standarisasi dan sertifikasi produse internasional yang cabanganya tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Alasan di atas juga menjadikan barang-barang yang dijual di mal mempunyai barcode dan berharga pas, berbeda jika kita berbelanja di pasar tradisional, barang yang dijual tanpa barcode dan harga tidak pas, mengingat tidak ada standarisasi, maupun sertifikasi atas barang yang dijual di pasar tradisional. Sehingga, hal itu menimbulkan suara ‘gemregengen” saat terjadinya proses tawar menawar antara penjual dan pembeli.
Maraknya pembangunan mal telah mengubah perilaku sosial masyarakat. Sbeagai contoh, konsep kenyamanan, kepraktisan dan keamanan yang menjadi prinsip pembangunaan mal telah mengubah konsep konsumsi, belanja sesuai kebutuhan menjadi belanja menunggu diskon. Cara bertrasnsaksinya pun berbeda dari uang cash manjadi kredit.
Memang tidak ada yang salah dari perubahan tersebut., namun satu hal yang perlu dicatat, bahwa mal telah menegaskan identitas pemisah sekaligus segregasi sosial baru tidak terlihat antara si kaya dan si miskin. (dilansir dari sumber Tribun Jogja (19/10/14), kolom News Analysis halaman 9)