Mengunjungi Warung Politik KOMAP untuk Melihat “Sekuel Drama Rezim (Paling) Baru: Represi Kebebasan Berekspresi”

Yogyakarta, 3 Juli 2021─Baru-baru ini, isu represi kebebasan berekspresi kembali hangat diperbincangkan setelah adanya kasus pemanggilan dan peretasan media sosial mahasiswa yang menyuarakan opini mengenai pemerintah Indonesia. Kasus ini lantas menjadi gambaran bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi masyarakat Indonesia sedang tidak dalam keadaan yang baik. Padahal, dalam negara yang menganut sistem demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat memiliki tempat khusus dan dilindungi dalam konstitusi negara yang bersangkutan, termasuk di Indonesia pasca reformasi. Isu ini pun menjadi pembahasan sentral dalam Warung Politik Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan atau KOMAP FISIPOL UGM bertajuk “Sekuel Drama Rezim (Paling) Baru: Represi Kebebasan Berekspresi” yang diselenggarakan pada Sabtu (3/7).

Warung Politik KOMAP kali ini menghadirkan Amalinda Savirani, selaku dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, dan Asfinawati, selaku Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), untuk membahas cara-cara baru yang dilakukan pemerintah pasca reformasi dalam merepresi masyarakat yang berupaya menyuarakan kritikan terhadap kinerja pemerintah selama ini. Dengan dipandu oleh Viola Nada dari Departemen Politik dan Pemerintahan angkatan 2019, Asfin dan Linda pada gilirannya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan untuk menjelaskan kondisi demokrasi Indonesia dan perbandingan dengan kondisi demokrasi yang ideal. Asfin dan Linda juga memaparkan argumen dan pendapatnya terkait kasus represi terbaru yang menimpa mahasiswa, lengkap dengan alasan-alasan yang didasarkan pada data. Kedua narasumber juga memaparkan perbedaan situasi represi yang terjadi pada tahun 98 dan saat ini.

Jawaban dan penjelasan dari Asfin dan Linda memiliki benang merah dan inti yang tidak jauh berbeda. Keduanya berpandangan bahwa isu represi kebebasan berpendapat semacam ini merupakan fenomena yang berulang, tetapi dengan cara dan pendekatan yang berbeda. Kedua narasumber juga sepakat bahwa sistem demokrasi yang dianut Indonesia seharusnya memberikan ruang untuk kebebasan berpendapat dan berekspresi, bukan justru merepresinya. Posisi Asfin dan Linda terkait isu ini semakin diperkuat dengan jawaban yang keduanya berikan pada sesi tanya-jawab dengan peserta. Meski tidak terbatas pada isu represi terkini, tetapi tiap penjelasan dari Asfin dan Linda menegaskan bahwa represi, apa pun bentuknya, tidak boleh terjadi di negara demokrasi. (/hfz)