Yogyakarta, 17 Mei 2024─Kecurangan publikasi riset telah menjadi budaya di Indonesia akibat pembiasaan dan pewajaran yang terjadi di lingkup akademik. Perjokian, aktor predator jurnal, plagiasi, hingga copyright telah menjamur dan biasa dilakukan oleh mahasiswa, dosen dan para peneliti yang mengganggu iklim akademis di Indonesia. Isu ini direspon oleh DISKOMA #13 bertajuk “Menjadi Seorang Intelektual: Integritas dan Tanggung Jawab Keilmuan” yang ditayangkan melalui Live Youtube Departemen Ilmu Komunikasi, pada Jumat (17/05). Diskusi ini merupakan upaya Departemen Ilmu Komunikasi yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-4 untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.“Sebenarnya integritas keilmuan bisa tampak dari satu karya tulis yang menunjukkan komitmen dan intelektual itu sendiri,” tutur Rahayu Ketua Prodi Master Ilmu Komunikasi UGM dalam sambutannya. Pelanggaran publikasi makin menjamur jika dipandang melalui perspektif dosen merupakan tekanan dari predikat WCU (World Class University) yang menuntut dosen membuat publikasi cukup banyak karena berpengaruh pada jenjang karir atau jabatan fungsional baik syarat maupun kredit kedepannya.
“Dengan beban mengajar, riset, hingga pengabdian, tuntutan ini sangat memberatkan bagi para dosen,” jelas Ahmad Effendi, Reporter Mojok.co yang menerbitkan isu pelanggaran publikasi pada beberapa media termasuk Mojok.co. Menurut liputan kolaborasinya, tuntutan dosen dalam publikasi riset selama setahun memunculkan dua permasalahan, yaitu hasil tidak berkualitas dan terpaksa menggunakan cara ‘instan’ termasuk kecurangan publikasi.
Isu lain yang marak terjadi adalah kolaborasi riset yang menyimpang. Hal ini terjadi ketika dosen senior memanfaatkan dosen baru atau mahasiswa untuk meningkatkan kreditnya melalui kolaborasi riset atau publikasi. “Kolaborasi yang disalahgunakan inilah yang memicu ketidakpercayaa mahasiswa untuk melakukan penelitian bersama sehingga mengurangi motivasi mereka dan merugikan akademis lainnya,” jelas Mariesa Giswandhani, Dosen Ilmu Komunikasi dan Education Content Creator.
Dalam lingkup mahasiswa, temuan Mariesa selama menjadi dosen menunjukkan bahwa kecurangan akademis terjadi karena budaya dan kebiasaan yang berulang dari dasar. Ada pola yang turun-temurun dan menjadi kebiasaan sehingga menyebabkan mahasiswa sulit menganalisa dan cenderung menggampangkan tugas akademis. Tidak jarang ditemukan mahasiswa mengerjakan tugas dengan bermodal jawaban dari algoritma Artificial Intelligence (AI).
Oleh karenanya, sebagai mahasiswa dan intelektual akademis di zaman ini perlu menjadi ‘hardcore’ yang melawan tindak praktik kriminal keilmuan dengan upaya tidak mewajarkan budaya pelanggaran publikasi dan edukasi akademisi. Sementara itu, teknologi Artificial Intelligence (AI) yang sering digunakan tanpa bertanggungjawab perlu disikapi secara bijak.
“Penggunaan AI jangan ditelan mentah-mentah, tapi perlu mempertanyakan logika kritis jangan sampai dihegemoni teknologi itu sendiri. Penting untuk meneliti dengan hati,” tutur Albertus Fani, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi UGM. Penggunaan teknologi Artificial Intelligence (AI) justru dapat menjadi alat melengkapi ide dan memunculkan inspirasi. Tidak ada yang salah dengan kehadiran AI, tapi penting bagaimana cara kita menggunakannya. (/dt)