Satria Aji Imawan
Alumnus Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) Universitas Gadjah Mada
Reformasi birokrasi terus bergeliat. Tidak main-main, landasan hukum berupa pengesahan UU ASN No 5 tahun 2014 dijadikan acuan. Niatnya mulia. Melalui UU ASN, diharapkan para ASN dapat bekerja lebih efektif, efisien dan stratejik. Disamping itu, UU ASN disahkan sebagai pengganti UU nomor 8 tahun 1974 dan UU nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Berbeda dengan UU sebelumnya, UU ASN mengatur aparatur negara agar memiliki kemampuan profesional kelas dunia, berintegritas tinggi dalam melaksanakan tugas dan berbudaya kerja tinggi sehingga memperoleh kepercayaan publik. Perubahan peraturan perundangan menimbulkan pertanyaan: mungkinkah UU ASN merubah stigma kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah?
Patut kita ingat bahwa birokrasi memegang peran penting. Kehadiran birokrasi menunjukkan kehadiran negara dalam wilayah tersebut. Melalui birokrasi, program pemerintah dan masalah-masalah masyarakat dikelola. Oleh karenanya birokrasi yang sakit, sama dengan negara yang sakit. Sadar peran dalam agenda besar negara, yakni kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Pancasila, sila kelima), pemerintah secara lugas menekankan pentingnya merumuskan aturan untuk mengatur reformasi birokrasi. Agar warga negara tetap dapat perlakuan yang adil tanpa ada celah pungli dalam birokrasi.
Tantangan reformasi birokrasi cukup berat. Persoalan bukan kendala teknis, melainkan persoalan kebiasaan atau kultural. Sebagai contoh, audit keuangan selalu menjadi momok bagi ASN dan dianggap sebagai ancaman. Imbasnya, program-program yang disusun oleh dinas-dinas tidak inovatif dan kreatif. Pikirannya sederhana, daripada terganjal urusan administratif, lebih baik melakukan kebiasaan yang sudah ada. Padahal dalam UU ASN, inovasi dan kreativitas dalam mengelola anggaran lebih ditekankan. Kunci terdapat pada perubahan mindset dari para ASN.
Seperti diurai di atas, penerapan UU ASN bersinggungan dengan kultur birokrasi yang ada. Contoh lain adalah kasus lelang jabatan Lurah Susan medio 2013 yang mendapatkan penolakan, baik dari masyarakat maupun elemen birokrasi itu sendiri. Penolakan ini bersumber belum terbiasanya, baik masyarakat maupun birokrasi terhadap sistem lelang jabatan. Padahal, apa yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta saat itu sudah sesuai dengan UU ASN, yaitu pejabat yang berwenang memiliki kewenangan untuk melakukan seleksi jabatan berdasarkan sistem merit (profesional).
Jelas bahwa kendala pertama perubahan dari UU ASN adalah pola pikir dan mental. Terdapat perbedaan tuntutan dari status awal sebagai PNS menjadi ASN. Tuntutan agar lebih inovatif, kreatif dan responsif terhadap masukan dari masyarakat tidaklah dapat dihindari. Belum lagi persoalan politik kantor (office politics) dalam penerapan UU ASN. Persoalan kompetensi coba diatasi dengan kehadiran Komisi ASN yang memiliki fungsi mengawasi pelaksanaan norma dasar, kode etik, dan kode perilaku ASN. Lebih lagi, pelaksanaan seleksi jabatan yang mendasarkan pengisian jabatan kompetisi menjadi momok bagi pola lama yang mendasarkan pada kroni dan patron. Penerapan otoritas dan persuasif menjadi kunci mendobrak politk kantor dalam birokrasi.
Persoalan tidak kalah serius terdapat pada kesiapan sumber daya manusia. Kedepan, seiring dengan semakin menyatunya pasar, birokrasi akan kerap bersinggungan dengan organisasi internasional. Baik antara pemerintah dengan pemerintah maupun pemerintah dengan organisasi non pemerintah di pusat maupun daerah. Birokrasi akan menjadi pintu pertama di dalam melakukan kerjasama, sehingga peningkatan kapasitas aparat birokrasi menjadi sangat penting untuk menjawab tantangan ini.
Pasca setahun, penerapan UU ASN bertemu dengan momentum pilkada yang dapat mendorong birokrasi yang lebih baik. Jadi tidak hanya membersihkan ASN, tapi memilih pemimpin yang dapat memberi keteladanan dan mendorong reformasi birokrasi juga penting. Peraturan perundangannya (UU ASN) telah ditekan. Semoga ini menjadi akhir dari cara pandang lama, kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah. Tentu kita berharap kalau bisa dipermudah, mengapa dipersulit.