Aulia, salah satu presenter di Ruang Grafika, Hotel University Club UGM, menerangkan bahwa dari sekian ratus ribu pengguna internet di Indonesia, 90% hanya digunakan untuk media sosial. Hiburan lebih banyak mendominasi aktivitas daring masyarakat Indonesia, sedangkan era digital yang memberikan peluang produktif belum menjadi prioritas masyarakat.
Fenomena ini merupakan konsekuensi dari apa yang disebut dengan digital divide, atau kemampuan menggunakan teknologi, dan eksistensinya dalam masyarakat Indonesia sangat nyata. Salah satu penyebabnya adalah mindset, rasa takut akan ancaman yang diberikan melalui arus informasi. Disparitas urban-rural juga jadi penyebab utama. Namun, orang yang secara rutin transmigrasi antara daerah rural dan urban berpeluang memainkan peran intermediary untuk membawa kemampuan teknologi (know-how)dari perkotaan ke pedesaan, dengan kata lain, mendomestikasi teknologi di area rural.
Di ruang Nusantara, Novi Kurnia yang juga Dosen Ilmu Komunikasi Fisipol UGM, mengungkapkan disparitas ini dari jumlah penonton video-video tutorial waspada bencana di Indonesia. “Indonesia itu the supermarket of disaster. Tahun 2016, ada 2.342 bencana, mulai dari banjir sampai puting beliung. 522 korban jiwa, 3,05 juta orang juga terkena dampaknya,” ungkap Novi.
Baginya, warga Indonesia akan terus terpapar pada ancaman bencana karena rendahnya kesadaran masyarakat. Sampai sekarang, masih banyak praktik pembakaran hutan, daerah rawan bencana sangat padat tetapi rumah-rumahnya kurang disesuaikan dengan keadaan lingkungan, dan pengetahuannya tentang mitigasi bencana masih rendah, pun era digital telah hadir saat ini. “Masyarakat sering menganggap remeh bencana. Mereka bilang ‘ah, belum ada bencana kok, santai aja.’ Namun, sebenarnya sudah banyak orang Indonesia yang mengunggah video tentang mitigasi bencana di YouTube. Ada 2000, tapi viewer-nya sedikit. Akhirnya saya pilih 13 yang viewer-nya minimal 1.000.”
Novi merasa keberadaan video-video tersebut di sosial media sangat penting karena dapat meningkatkan literasi masyarakat secara berkelanjutan. Namun, dari segi komentar, ia merasa antusiasme masyarakat masih rendah. Oleh karena itu, penting untuk menyebarkan video-video serupa.
Presenter lain, Sheila Alifia dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional 2014, juga mengungkapkan hal serupa dari segi e-commerce. Dalam risetnya yang masih dalam proses, ia menyatakan bahwa Indonesia adalah pengguna facebook terbesar di dunia, tetapi masih terdapat gap yang sangat besar, misalnya di antara Jawa dan Papua. Masyarakat Indonesia masih lebih bergantung pada transaksi langsung dalam kegiatan ekonomi. Di saat yang sama, Indonesia juga memiliki potensi kekayaan alam, etnisitas, serta budaya yang dapat diperkenalkan kepada dunia melalui sistem informasi digital.
Disparitas akses teknologi informasi antara daerah satu dengan daerah lainnya menjadi penghalang utama. Di saat yang sama, Indonesia sedang mengalami perubahan dalam tatanan penyediaan layanan komunikasi dengan memperbolehkan privatisasi. Harapannya, melalui kerjasama privat-publik, regional digital divide dapat teratasi. Meskipun demikian, terdapat juga dilema mengenai akses data masyarakat oleh pihak-pihak penyediaan layanan informasi ini sehingga keamanan data juga perlu mendapatkan perhatian.
Dari berbagai presentasi yang dibawakan para peserta, Novi dan Sheila mengatakan ISSOCP menjadi forum tempat belajar hal-hal baru tentang era informasi digital. “Penelitian saya ternyata berkaitan dengan penelitian-penelitian yang lain, misalnya tentang tourism, karena ketika Indonesia itu banyak bencana dan manajemen bencananya tidak bagus, orang Indonesia mungkin bisa agak abai ya. Tapi kalau buat orang yang hidup di negara maju, readiness itu penting banget. Itu pasti akan memengaruhi jumlah turis yang datang,” kata Novi selepas presentasi. Terkait dengan penyebaran informasi melalui media baru, pariwisata bisa saja terkena dampaknya karena kabar di satu negara sudah sangat mudah tersebar ke negara lain.
Mengenai trust di era revolusi digital, ia menyatakan bahwa teknologi punya dua sisi, baik dan jelek. “Sisi buruknya seperti yang kita diskusikan kemarin, ada hate speech, hate spin, hoax, dan lain-lain. Di sini, peran pengguna media digital jadi penting. Ajaklah teman-teman kita untuk menyebarkan berita-berita yang baik, yang kontennya positif, supaya hoax dan lain-lainnya yang negatif bisa berkurang,” pesan Novi.
Fakta bahwa kini data-data pengguna layanan telepon genggam dikomersialisasikan menarik bagi Sheila. “Makanya itu menjelaskan kenapa sekarang kita sering dapat SMS diskon atau promosi.” Sheila juga menegaskan, “Digital revolution is already here. Itu nggak bisa disangkal, tidak mungkin dicegah. Kita harus siap untuk menghadapinya. Membangung trust itu jadi penting karena kita nggak mau kan jadi pihak yang dirugikan, misalnya lewat komersialisasi data.” Baginya, penting untuk masyarakat mendapatkan edukasi dari pemerintah mengenai keamanan data. “Kalau generasi sekarang dan besok tidak dididik dari sekarang, kita hanya akan menjadi alat dalam era revolusi digital,” pungkas Sheila.
ISSOCP ditutup pada 24 November dengan pidato I Gusti Ngurah Putra sebagai ketua panitia, disusul pemberian penghargaan pada tiga karya terbaik dan foto bersama. (/KOP)