Semenjak tahun 2007 mulai terjadi aksi penolakan terhadap tambang Mangan di Kabupaten Maggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Aksi penolakkan tambang Mangan tersebut diinisiasi oleh tokoh-tokoh Gereja Katolik dan masyarakat di sana dengan membentuk Justice Peace and Integrity of Creation (JPIC). Semenjak didirikannya lembaga ini, wacana penolakkan tambang secara damai mulai masifterjadi di Manggarai. Hingga puncaknya, pada Oktober 2014 terjadi unjuk rasa besar-besaran menolak tambang dan meminta aktivitas tambang segera dihentikan setelah sebelumnya terjadi bentrokan antara perusahaan dan kepolisian dengan tokoh gereja dan masyarakat.
Cerita itu dituturkan oleh Pastor Simon Suban Tukan pada Kamis (6/8) pagi dalam acara diskusi bertajuk Peran Gereja Katolik sebagai Aktor Kunci dalam Kewargaan dan Kontestasi Wacana Tambang di Manggarai. Acara yang diselenggarakan oleh Politik and Government Research Centers (POLGOV) Jurusan Politik dan Pemerintahan ini bertempat di Gedung BA Ruang 103 FISIPOL, mengundang Pastor Simon Suban Tukan Koordinator JPIC SVD Ruteng sebagai pembicara dalam diskusi tersebut.
Pembangunan tambang Mangan di Manggarai yang dimulai sejak 2006 mulai dikeluhkan masyarakat di sana. “Pembangunan tambang Mangan di Manggarai menggunakan gaya Orde Baru, tidak ada pembicaraan dengan masyarakat yang lahan penghidupannya digusur,” tutur Pastor Simon.
Keluhan masyarakat yang mulai bertambah itu mulai didengar oleh tokoh-tokoh Katolik di sana salah satunya, Pastor Simon. Sejak saat itu, Pastor Simon bersama tokoh Katolik lain mulai menggalang kekuatan untuk menolak tambang. Salah satunya dengan melakukan penelitian dan memetakan masyarakat terdampak terhadap adanya tambang.
Kemudian, Pastor Simon bersama kawan-kawan yang lain mulai meminta dukungan Keuskupan di Ruteng. Menanggapi hal itu, Uskup Ruteng mendukung adanya penolakkan tambang di sana dengan mengeluarkan surat resmi Keuskupan tentang penolakkan tambang.
Pembangunan tambang di Manggarai yang dinilai merusak lingkungan merupakan alasan kuat dari Pastor Simon besama tokoh-tokoh Katolik terhadap keberadaan tambang.
“Pembangunan tambang di Manggarai telah menyebabkan kehancuran ekosistem lingkungan secara masif. Akibatnya, sumber kehidupan masyarakat Manggarai yang selama ini mengantungkan hidupnya terhadap alam jadi terganggu,” ungkap Pastor Simon.
Selain kerusakan alam di area sekitar tambang masyarakat di sana, terjadi juga beberapa kasus tambang Mangan yang mencemari lingkungan sekitar. Hal itu menyebabkan puluhan orang meninggal baik di rumah, di rumah sakit maupun saat menambang.
“Kasus pencemaran tambang Mangan juga terjadi di Manggarai. Hal ini karena proses penambangan tidak menggunakan perlengkapan standar penambangan,” kata Simon.
Proses advokasi yang dilakukan Pastor Simondan aktor-aktor gereja itu nampaknya mulai membuahkan hasil. Keberhasilan Gereja Katolik memberikan pressure kepada pemerintah salah satunya lewat kemampuan jejaring yang bisa dilakukan JPIC dengan dunia internasional.
“Sekarang penambangan sudah berhenti beroperasi baik di Manggarai Barat dan Manggarai Timur. Keberhasilan ini salah satunya karena gerakan ini mampu membangun jejaring dengan dunia Internasional,” kata Pastor Simon.
Meski demikian, Pastor Simon menekankan bahwa keberhasilan penghentian penambangan di Manggarai Timur dan Barat berbeda-beda. Misalnya jika di Manggarai Barat proses penghentian penambangan bisa menghadirkan sifat dialog antar lembaga sedangkan di Manggarai Timur masyarakat harus berhadapan langsung dengan perusahaan.
Menutup diskusi hari itu, Pastor Simon berpesan bahwa penolakan terhadap tambang merupakan misi penting terhadap lingkungan. Dengan melihat alam sebagai bagian dari kehidupan sama saja dengan mengusahakan kesejahteraan bagi masyarakat. (D-OPRC)