“Revolusi Industri membawa perubahan pada beberapa aspek di Indonesia, seperti kerja dan perdagangan, belajar mengajar, pertanian, jasa keuangan, transportasi, kuliner, kesehatan, dan penggalangan dana. Semuanya tengah berkembang dengan memanfaatkan digital, sehingga membawa efisiensi bagi masyarakat,” kata Rudiantara.
Pemanfaatan digital tersebut berupa terciptanya aplikasi – aplikasi digital; seperti Go-jek, Kitabisa, Zenius, dan lain sejenisnya, yang selanjutnya disebut sebagai startup. Munculnya industri kreatif ini membantu negara dalam peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat dengan terbukanya lapangan kerja baru yang lebih bervariasi.
Terciptanya startup tersebut menjadi salah satu inovasi yang merespon peluang era digital. Tetapi, ada banyak tantangan pula yang harus diselesaikan agar dapat terus merespon kedatangan era digital. Salah satunya adalah minimnya pengetahuan dan kemampuan pada sumber daya manusia di Indonesia terhadap penggunaan dan pemanfaatan digital sehingga mendorong adanya kesenjangan talenta digital yang semakin melebar.
“Indonesia belum secara serius dalam menciptakan digital talent, padahal menurut survey, Indonesia membutuhkan 9 juta digital talent, rata – rata 600 ribu jiwa per tahun agar dapat merespon bonus demografi nantinya,” kata Rudiantara.
Dalam menanggapi hal itu kemudian Kementrian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia tengah membuka peluang beasiswa bagi anak muda Indonesia untuk menciptakan digital talent.
Diskusi mengenai peluang dan tantangan pada era digital di atas telah dilaksanakan di Fisipol UGM yang bekerja sama dengan Keluarga Alumni Fisipol Gadjah Mada (Kafispolgama) pada Sabtu (23/02) dengan menghadirkan Rudiantara, Menteri Komunikasi dan Informatika RI, sebagai keynote speaker, serta berbagai perwakilan dari beberapa startup di Indonesia yang fokus pada isu yang berbeda seperti, Bubu.com, Kerjabilitas, Zenius, Kitabisa, dan Founding Member UN Youth Advicer for SDGs.
Setiap narasumber berbagi pengalaman mengenai bagaimana cara mereka melihat peluang baik dari sisi ekonomi, sosial dan politik, sehingga memunculkan ide – ide kreatif yang dapat memanfaatkan era digital menjadi lebih produktif. Mereka bercerita mengenai apa saja tantangan yang mereka hadapi dan bagaimana menemukan solusinya dengan menggunakan teknologi digital.
Baik Kerjabilitas maupun Kitabisa merupakan startup yang fokus pada isu sosial, dimana Kerjabilitas membantu menyalurkan tenaga kerja penyandang disabilitas ke berbagai perusahaan. Kitabisa sendiri saat ini telah menjadi platform crowdfunding terbesar di Indonesia yang menggunakan teknologi digital untuk penggalangan dana untuk menyelesaikan isu-isu sosial.
“Yang kami usahakan adalah bagaimana mereka (masyarakat disabilitas) bertahan hidup dan menurut kami, mereka harus mendapatkan pekerjaan. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah, kami harus bernegosiasi dengan berbagai macam perusahaan agar mereka mau menerima pekerja disabilitas,” kata Tety Sianipar CTO Kerjabilitas.
Lain halnya dengan kitabisa, start – up tersebut membantu masyarakat yang membutuhkan dana untuk mewujudkan impiannya.
“Kami bekerja untuk mereka yang membutuhkan biaya untuk mewujudkan impiannya dan kami memfasilitasi mereka yang dermawan untuk menyalurkan bantuannya. Kami selalu menunjukkan pada masyarakat luas bahwa banyak orang – orang yang membutuhkan bantuan dan banyak orang – orang baik di bangsa ini untuk menggugah hati masyarakat untuk berzakat atau berdonasi,” kata Eka Anzihory Data Analyst Kitabisa.
Berbeda dengan Kerjabilitas dan Kitabisa, Zenius berfokus pada peningkatan pendidikan bagi generasi muda Indonesia. Zenius memberikan ruang untuk anak muda agar dapat belajar bebas, dimanapun, dan kapanpun, dengan menciptakan platform pembelajaran online yang berisikan latihan – latihan soal dan memberikan model belajar mengajar yang lebih modern.
“Target kami adalah agar anak muda tidak hanya belajar untuk lulus ujian, tetapi juga belajar bagaimana merancang masa depan. Kami selalu berusaha memperbaiki kualitas pendidikan dan juga meningkatkan kemampuan kognitif generasi muda bangsa ini,” kata Wisnu Subekti President Zenius.
Selanjutnya, Angga D. Martha fokus pada isu Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs merupakan sebuah program yang bergerak untuk peningkatan kualitas dan produktivitas people, planet, prosperity, peace, and partnership.
“Sebagai anak muda, sebagai tokoh utama dalam era digital ini, kreatifitas dapat menjadi jurus untuk menciptakan start – up dan menciptakan lapangan pekerjaan, anak muda bukan hanya sebuah objek kebijakan, tetapi juga subjek dalam mewujudkan perubahan. Bring your data, do your best and advocat your creativity,” Angga D. Marta dari UN Youth Advicer for SDGs.
Pada sesinya, Shinta Danuwardoyo, CEO Bubu.com juga mengutarakan hal yang sama dalam mewujudkan SDGs. Menurut Shinta, networking merupakan salah satu aspek penting yang harus dibangun agar dapat mewujudkan startup yang produktif dan berkualitas, serta mendorong pertumbuhan sosial ekonomi di masyarakat.
“Oleh karena itu, saya selalu membawa satu startup untuk berkunjung ke perusahaan-perusahaan dunia agar mereka bisa mendapatkan insight dan berjejaring dengan orang-orang hebat di dunia,” papar Shinta.
Acara ini merupakan kedua kalinya Fisipol UGM dan KAFISPOLGAMA menyelenggarakan I-TALK. Tujuan utama dari acara ini adalah untuk memberikan tambahan wawasan kepada mahasiswa yang menggeluti ilmu sosial dan politik agar bisa melihat fenomena sosial dengan lebih kritis. Sebanyak dua ratus mahasiswa Fisipol UGM memadati Ruang Auditorium Mandiri dan secara aktif mengajukan pertanyaan kepada narasumber. (/pnm)