Yogyakarta, 14 September 2023 – Dewasa ini, diskursus mengenai ekonomi biru kian menghangat di Indonesia. Ekonomi biru digadang-gadang dapat menjadi solusi atas permasalahan dalam pengelolaan kelautan dan perikanan Indonesia. Namun, konsep tersebut masih tergolong baru dan dianggap belum memiliki pijakan yang kuat. Dalam rangka membuka diskursus mengenai topik tersebut, Social Research Center (SOREC) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada bersama dengan Transparency International Indonesia menggelar acara Diskusi Publik bertajuk “The Commons dan Ekonomi Biru di Indonesia: Menatap Lautan untuk Masa Depan Pembangunan Berkelanjutan” sebagai wadah diskusi untuk memperluas wawasan publik mengenai konsep ekonomi biru. Acara tersebut dilaksanakan pada Kamis (14/9) secara luring di University Club Hotel UGM.
Konsep ekonomi biru layak dipertimbangkan untuk masa depan Indonesia. Terlebih, kerangka ekonomi biru dianggap dapat mewujudkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat, maju, dan tangguh melalui pembangunan yang berkelanjutan. Idealnya, ekonomi biru bertujuan untuk membangun sistem ekonomi yang berkelanjutan berdasarkan prinsip-prinsip alami dan lokalitas. Meskipun demikian, Andreas Budi Widyanta, Ketua SOREC UGM, mengajak masyarakat untuk tetap bersifat skeptis dan kritis terhadap konsep tersebut.
“Kita perlu berhati-hati, jangan memposisikan konsep ekonomi biru sebagai konsep yang steril, netral, dan objektif,” ucapnya.
Andreas berpendapat bahwa ekonomi biru tidak lepas dari cara pandang yang menyandarkan seluruh navigasi kemajuan zaman pada akumulasi modal tanpa akhir. “Narasi ekonomi biru (versi) bank dunia menjelaskan tentang bagaimana praktik komodifikasinya terlihat gempal sekali,” jelasnya. Sejalan dengan apa yang disampaikan Andreas, Ferdian Yazid, Manajer Pengelolaan Ekonomi dan Sumber Daya Alam Transparency International Indonesia, mengkritisi mengenai bagaimana potensi sektor ekonomi biru justru rawan terhadap korupsi dan konflik kepentingan. “Kebijakan ini menjadi rentan karena hanya mengejar PDB. Jadi, pada akhirnya juga eksploitatif,” ungkap Ferdian.
Lebih lanjut, Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi, juga menyampaikan kekhawatirannya terkait konsep ekonomi biru. Di tengah-tengah kondisi di mana lautan di Indonesia masih diposisikan sebagai ruang kompetisi terbuka atau laut bebas, Parid menyatakan dengan tegas bahwa ekonomi biru bukanlah solusi yang tepat. “Laut diposisikan sebagai ruang kompetisi antara nelayan atau masyarakat dengan industri skala besar. Siapa pun yang memiliki power dapat mengeksploitasi sumber daya di wilayah tersebut,” jelas Parid.
Tentu, gagasan ekonomi biru berpegang pada prinsip transparansi, keadilan, dan berkelanjutan. Namun, sangat mungkin apabila praktik dan implementasi di lapangan dapat melenceng dari tujuan utamanya. Menurut Ari Wibowo, Peneliti Pusat Studi Agraria IPB, untuk mewujudkan ekonomi biru yang ideal, dibutuhkan laku kebijakan yang konsekuen. “Yaitu dengan melaksanakan Pasal UUD 1945 yang memprioritaskan pemerataan dan kemakmuran bagi rakyat,” jelasnya. (/tt)