Menyoal Jasa Influencer Bayaran dalam Pembentukan Opini Publik dan Demokrasi

Yogyakarta, 8 September 2020‒ “Pemerintah menganggarkan sejumlah dana publik untuk menyewa jasa influencer,” jelas Lola Easter Kaban, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam diskusi MAP Corner Fisipol UGM kemarin (8-9). Lola memaparkan temuan ICW atas data anggaran belanja pemerintah yang bersumber dari sistem Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE).

Banyak orang menggunakan istilah influencer atau buzzer untuk menyebut individu atau kelompok yang dapat memengaruhi opini publik, terutama melalui media sosial. Terkadang, influencer dengan jumlah pengikut (followers) yang besar menerima bayaran untuk mengiklankan produk atau layanan tertentu. Rupanya, mereka juga dimanfaatkan pemerintah Indonesia.

ICW menemukan bahwa ada peningkatan pengadaan aktivitas digital pemerintah yang cukup signifikan sejak tahun 2017. Lola menjelaskan, setidaknya terdapat 68 paket pengadaan dengan kata kunci “media sosial”. Sedangkan anggaran belanja pemerintah untuk aktivitas digital berdasarkan kata kunci “influencer” atau “key opinion leader” pada 2017‒2020 ada 40 paket dengan nilai Rp90,45 miliar. Dari 40 paket tersebut, jumlah terbanyak terdapat di Kementerian Pariwisata dengan 22 paket. Selanjutnya Kemendikbud dengan 12 paket, Kemenkominfo 4 paket, dan Kemenhub serta Kemenpora masing-masing 1 paket. “Dugaan kuat ICW, pemerintah daerah juga menggunakan jasa influencer,” kata peneliti ICW itu.

Lola juga menjelaskan kejanggalan dalam pemilihan influencer oleh pemerintah. Berdasarkan temuan ICW, nama mereka sudah ada sejak dalam tahap perencanaan. “Hal itu tidak sejalan dengan pengadaan yang transparan dan akuntabel,” jelas dia. ICW juga menilai bahwa pemerintah tidak transparan dalam menentukan influencer. Sebab, imbuh Lola, kriteria influencer yang dipilih pemerintah tidak jelas. Menurut pandangan ICW, pemilihan influencer oleh pemerintah hanya berdasarkan kedekatan. Artinya, orang-orang tersebut dipilih karena sudah biasa “dipakai” oleh pemerintah. Dia juga mengatakan, tidak ada landasan kebijakan pemerintah dalam menentukan influencer.

“Istilah influencer atau buzzer sudah mengalami degradasi makna,” tutur Wisnu Prasetya Utomo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Fisipol, UGM. Menurut dia, di era digital sekarang, definisi, kategori, dan ukuran kelayakan influencer masih bias. Kehadiran influencer dan buzzer, jelas Wisnu, merupakan konsekuensi dari penggunaan media sosial yang semakin masif. Sebab, banyak kelompok, baik pemerintah ataupun kelompok sipil, yang memiliki kepentingan untuk memengaruhi opini publik. Oleh karena itu, Wisnu menyebut era saat ini sebagai “rezim algoritma”.

Wisnu menjelaskan, rezim algoritma memiliki turunan berupa infrastruktur misinformasi. Berbagai kelompok kepentingan politik sengaja menggunakan tools, yang merupakan pertautan antara dunia politik, statistik, dan big data tersebut, dengan tujuan yang beragam. Beberapa dari mereka, jelas Wisnu, bertujuan mengacaukan atau menggeser opini publik. Imbasnya, tindakan tersebut membunuh kepakaran di media sosial. Wisnu menambahkan, otoritas di era digital runtuh di era matinya kepakaran saat ini. “Orang di media sosial bisa berbuat apa saja tanpa label-label otoritatif,” jelas Wisnu

“Buzzer mencoba mendelegitimasi pakar maupun media massa,” kata Wisnu. Ia juga mengatakan, ekosistem digital di Indonesia sudah tidak ramah lagi. Sebab, rezim algoritma melanggenggkan atau meradikalisasi keyakinan politik seseorang. Dalam konteks yang lebih luas, kata dia, pengaruh buzzer yang mencemarkan wacana publik adalah ancaman serius bagi demokrasi.

Senada, aktivis pro-demokrasi, Bilven Sandalista, menyebut bahwa dalam negara demokrasi, mestinya suara rakyat lebih didengar. Namun, menurut dia, yang terjadi saat ini justru pemerintah memaksakan agar suaranya didengar rakyat. Apabila kebijakan-kebijakan pemerintah bertentangan dengan suara rakyat, pemerintah menggunakan perpanjangan tangan, yakni dengan menyewa influencer. “Celakanya, mereka dibayar dengan uang publik untuk membungkam rakyat, ” tegas Bilven.

Pola yang terjadi selama ini, kata Bilven, kebijakan-kebijakan pemerintah hampir tidak pro-rakyat. Contohnya, RUU omnibus law cipta kerja. Menurut dia, para penyelenggara negara lebih mengutamakan kepentingan para oligarki yang merugikan masyarakat luas. Dampaknya, suara kritis rakyat pun juga meluas. Mestinya, imbuh Bilven, persoalan ini diselesaikan dengan jalan demokrasi, yakni musyawarah mufakat. Menurut dia, cara-cara lebih brutal bahkan terjadi apabila suara rakyat lebih besar dari influencer. “Sebagian buzzer menggunakan akun anonim untuk membungkam suara masyarakat yang kritis di media sosial,” terang Bilven.

Salah satu peserta, Ilham, menanyakan tentang alasan penggunaan influencer bagi pemerintah. Lola menerangkan, ICW meyakini bahwa pemerintah tidak percaya diri dengan programnya sendiri. Selain itu, aliran dana dari negara untuk influencer juga tidak dapat dipetakan dengan jelas. Dampak terburuknya, menurut Lola, ialah muncul konflik horizontal di masyarakat. “Kita lupa kalau sebenarnya ini adalah problem struktural,” tandasnya. (/NIF)