Yogyakarta, 2 Juli 2021━Center Digital for Society atau CfDS FISIPOL UGM menyelenggarakan program DIFUSSION #54 bertajuk “Menyoal Kebebasan Berekspresi di Internet: Komparasi di Indonesia dan Amerika Serikat” pada Jumat (2/7). Pembicara dalam acara ini adalah Fajar Cahyono (Research Associate CfDS) dan Alfredo (Research Intern CfDS). Acara berlangsung melalui Youtube Live pada 15.30-17.00 WIB, dengan dimoderatori oleh Aldo Rafi Presnauli Siregar (Partnership Associate CfDS).
Kebebasan berekspresi atau freedom of expression merupakan satu dari prinsip dasar demokrasi modern dimana kebebasan sipil layak untuk dihormati dan dianggap sebagai prasyarat untuk individu dalam melakukan pengembangan diri. Kebebasan berekspresi pada abad modern menjadi sesuatu yang sangat diperjuangkan bahkan sampai dengan hari ini. Pasalnya, problem kebebasan berekspresi menjadi masalah baru dimana standar moral untuk berbicara dan tatanan hukum yang ada berbeda-beda pada setiap negara. Di Indonesia, kita mempunyai UU ITE yang mengatur pasal-pasal tentang freedom of expression di internet. Namun, undang-undang tersebut dinilai masih terdapat beberapa pasal karet yang dijadikan dasar untuk menangkap ataupun memidanakan seseorang.
Indonesia melahirkan dilema dimana freedom of expression menjadi sangat penting untuk mengisi demokrasi yang menuntut setiap orang untuk aktif dan terlibat dalam kehidupan bernegara baik menyuarakan secara formal atau informal, namun di sisi lain ada ancaman bagi individu khususnya terkait dengan pidana UU ITE yang saat ini menjadi salah satu payung hukum. Berdasarkan data safenet tahun 2017-2020, kelompok yang sangat rentan sebagai korban pemidanaan dengan pasal karet adalah warga sipil, diikuti oleh aktivis, buruh, jurnalis, mahasiswa, dan sebagainya. Fajar Cahyono mencoba mengulas beberapa contoh pasal karet, di antaranya adalah pasal 27 ayat 2 dan pasal 28 ayat 2 yang di dalamnya masih terdapat frasa yang multitafsir.
“Terkait dengan pasal 28 dan juga pasal 27 hal-hal yang memang yang sekiranya sangat multitafsir, ras antargolongan atau penghinaan itu perlu didefinisikan lebih lanjut deh juga perlu didefinisikan lebih jelas,” ungkapnya.
Sementara, Alfredo mencoba membandingkan dengan hukum di Amerika Serikat. Kebebasan berekspresi tercantum dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (ICCPR) pasal 19. Namun, menariknya, Amerika Serikat melakukan reservasi terhadap pasal 20 yang mengatur tentang ujaran kebencian. Seperti yang kita ketahui, kebebasan berekspresi dan berpendapat itu bukan non-derogable rights atau hak yang tidak dapat diganggu gugat. Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah sebuah hak yang dapat dibatasi dengan mempertimbangkan dan tetap melindungi hak lainnya. Negara tidak boleh membuat peraturan yang dapat membahayakan kebebasan individu untuk mengutarakan pendapatnya.
“Bisa kita lihat ketika ada orang-orang semisalnya mereka ingin melangsungkan sebuah klaim terhadap hak mereka itu sedang dibatasi Amerika Serikat, kita bisa melihat bahwa sistem peradilan di Amerika Serikat ini akan me-refer kepada amandemen pertama itu, sampai-sampai beberapa komentator memberikan terma kalau hak kebebasan berekspresi di Amerika Serikat itu sekitar 99% absolut, tentu masih ada beberapa batasan-batasan yang disepakati oleh Amerika Serikat itu sendiri,” ucapnya.