Menyoal Perempuan, Lingkungan, dan Ekofeminisme dalam Diskusi Bulanan Sorec

Yogyakarta, 7 Mei 2021━Masih dengan spirit Hari Kartini sekaligus Hari Bumi yang diperingati pada bulan April lalu, Social Research Center atau SOREC milik Departemen Sosiologi Universitas Gadjah Mada kembali hadir dengan diskusi bulanan untuk merayakan kedua momentum tersebut pada Jumat (7/5). Bertajuk “Ekofeminis di Tanah Air: Menjaga, Merawat dan Memperjuangkan Masa Depan”, diskusi ini menghadirkan dua narasumber ahli untuk mengulik isu lingkungan dan perempuan dari sudut pandang yang berbeda━teoritis dan praktis.

Dua sudut pandang yang berbeda tetapi saling melengkapi ini dihadirkan guna mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam mengenai perjalanan advokasi perempuan. “Cerita mengenai advokasi perempuan adalah cerita historis yang bukan saja menarik buat masa lalu, tapi jauh lebih penting, (hal ini penting untuk) mengaktualisasi perjuangan perempuan dalam sejarah yang berbeda,” ungkap Dr. Arie Sujito, Ketua SOREC, dalam sambutannya pada awal acara.

Cerita-cerita ini didapatkan dari Aleta Baun, narasumber pertama yang merupakan seorang aktivis perempuan dan lingkungan. Berangkat dari pengalaman dan pengetahuannya terkait nilai-nilai serta kearifan lokal yang sangat berperan terhadap eksistensi bumi, lingkungan, juga kehidupan sosial secara lebih luas, Aleta memaparkan secara mendetail relasi antara perempuan dengan lingkungan.

Cerita Aleta diperkuat dengan pemaparan secara teoritis dari narasumber kedua, Desintha Dwi Asriani Ph.D., selaku dosen Departemen Sosiologi. Dalam pemaparannya, Desintha banyak menegaskan poin-poin yang disampaikan oleh Aleta, seperti terkait dengan kerusakan lingkungan yang berpengaruh pada hal-hal yang dekat dengan keseharian perempuan. Desintha, yang berangkat dengan sudut pandang teoritis, cenderung mengulik seputar ekofeminisme itu sendiri, mulai dari konsep serta konteks, hingga contoh gerakan nyata.

“Narasi tentang perlawanan perempuan terbentang dari ujung barat hingga timur Indonesia. Di setiap daerah, kekhasan persoalan yang dihadapi menjadi konteks penting mengapa perlawanan perempuan untuk memperjuangkan keadilan ekologis mewarnai praktik ekofeminisme di Indonesia,” ungkap Desintha dalam materi presentasinya.

Penjelasan dari kedua narasumber, ditambah dengan sesi tanya jawab yang interaktif dengan para peserta, kemudian dibungkus rapi oleh simpulan dari moderator, Sidiq Hari Madya, M.S.c., sebelum menutup acara. Diskusi bulanan SOREC edisi bulan Mei ini dapat disaksikan ulang di kanal Youtube resmi Departemen Sosiologi UGM. (/hfz)