Di tahun-tahun belakangan ini Yogyakarta seolah sedang dirundung berbagai persoalan agraria. Mulai dari persoalan hotel, krisis air, hak tanah, hingga konflik bandara Kulon Progo. Adu kepentingan antara pihak swasta, pemerintah, dan masyarakat inilah yang membuat konflik agraria masih terus menjadi isu bersama. Hingga saat ini pun masyarakat masih terus memperjuangkan hak-haknya atas tanah, lahan, hingga air yang memang sudah selayaknya menjadi hak bersama.
Namun, ada sedikit hal berbeda dari proses perjuangan tersebut. Masyarakat tidak hanya mengekspresikan ketidaksetujuan dan ketidakadilan melalui aksi-aksi demo di jalan. Kini seni baik dalam bentuk mural, film, pertunjukan teater, maupun musik menjadi medium alternatif masyarakat dalam menyuarakan berbagai persoalan yang ada.
Dalam sebuah Serial Diskusi Agraria yang bertajuk “Agraria dan Seni Sebagai Media Pergerakan” (19/03) Andre yang merupakan perwakilan dari Komunitas Teman Temon membenarkan hal tersebut. Diskusi yang diinisiasi oleh Keluarga Mahasiswa Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (Kapstra) Fisipol UGM ini juga menghadirkan Dwi Rahmanto dari Indonesian Visual Archive dan Pitra Ayu selaku Peneliti sekaligus Project Coordinator Engagemedia Yogyakarta sebagai pembicara.
Menurut Andre, seni bisa menjadi media komunikasi antarmasyarakat maupun pihak luar. Andre juga mengakui bahwa di Teman Temon sering menggunakan produk seni atau produk kreatif dalam mengawal berbagai isu. “Isu yang dibawa Teman Temon mempunyai tantangan tersendiri. Misalnya isu penggusuran merupakan isu pinggiran untuk dibawa ke kota dan menjadi isu banyak orang,” ungkapnya.
Andre menambahkan bahwa salah satu upaya yang dilakukan Teman Temon untuk memperjuangakan isu-isu pinggiran yaitu dengan menguraikan dampak-dampak yang terjadi di masyarakat. Dimana dampak tersebut tidak hanya akan menimpa orang-orang tertentu, tetapi banyak orang dari anak-anak hingga lansia. Proses penggambaran inilah yang sering kali difasilitasi oleh seni sebagai medianya. “Melalui seni kita akan berkolaborasi dengan berbagai lapisan masyarakat dari musisi, seniman, maupun masyarakat lokal. Ini menjadi medium baru,” paparnya.
Dalam pemaparan selanjutnya, Dwi lebih banyak menceritakan sejarah keikutsertaan seni dalam berbagai pergerakan. Dwi mengungkapkan bahwa isu di dunia seniman memang seputar bagaimana perannya dalam masyarakat. Menurutnya, seniman harus bersikap dalam isu apapun, tidak terkecuali isu agraria.
Dari sejarah, dunia seni khusunya seni rupa bisa menjadi saksi kondisi sosial masyarakat yang ada. Hal ini dilakukan oleh Sujoyono yang melukiskan kondisi Indonesia saat masa penjajahan. Sujoyono melalui karyanya menggambarkan secara jelas bagaimana penderitaan masyarakat Indonesia di masa tersebut. Pasca kemerdekaan, seni juga mewarnai dinamika politik di Indonesia. Munculnya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) adalah salah satu contohnya. “Pasca Orde Baru (Orba), muncul banyak seniman yang anti Orba. Banyak seniman yang membicarakan isu sosial dan politik,” jelas Dwi.
Pitra menambahkan bahwa ada beberapa modus varian ekspresi seni yang bisa digunakan dalam berbagai pergerakan. Pertama, bentuk ilustratif yang lebih menajamkan sensasi dari suatu hajat atau keadaan. Kedua, bentuk dokumentatif yang lebih mengandalkan pada kekuatan naratif. Ketiga, bentuk kontemplatif mengacu pada kekuatan besar di luar dirinya yang menimbulkan chaos. (/ran)