Yogyakarta, 22 Januari 2021—Treaty on the Prohibition of Nuclear Weapons atau Traktat Pelarangan Senjata Nuklir resmi diberlakukan. Traktat ini menjadi sebuah norma global dalam usaha pencegahan penggunaan senjata nuklir. Sayangnya, Indonesia sendiri hingga saat ini belum meratifikasi traktat yang biasa disebut TPNW ini. Padahal posisi politik dari TPNW diharapkan dapat menguat apabila mendapatkan ratifikasi dari Indonesia. Isu inilah yang kemudian diangkat dalam Webinar Institute of International Studies UGM bertajuk “Traktat Pelarangan Senjata Nuklir Resmi Berlaku: Apa Yang Indonesia Perlu Perhatikan?”. Melalui ketiga pembicara yang dihadirkan, webinar ini mengulik dampak dari berlakunya TPNW terhadap dinamika politik internasional serta cara dan kondisi Indonesia untuk dapat menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan adanya traktat tersebut.
Pembicara pertama, Christian Donny Putranto, Penasihat Hukum International Committee of the Red Cross (ICRC), secara garis besar menjelaskan mengenai potensi bahaya senjata nuklir bagi kemanusiaan. Dalam hal ini TPNW banyak merujuk pada Hukum Humaniter Internasional, yang mana tidak akan pernah sejalan dengan penggunaan senjata nuklir apa pun alasannya. Donny juga secara singkat mengenalkan garis besar TPNW, meliputi kerangka utama—yang dibahas secara lebih mendalam pada kerangka “larangan” dan “kewajiban universalisasi”, dan masa depannya dalam lingkup hukum internasional.
Di Indonesia, senjata nuklir berlawanan dengan prinsip Indonesia untuk menciptakan perdamaian dunia, sehingga Indonesia turut aktif dalam berbagai kegiatan dalam rangka perlucutan senjata nuklir. Hal inilah yang dijelaskan oleh Ricky Ichsan, Koordinator Fungsi Direktorat Keamanan Internasional dan Perlucutan Senjata (KIPS) Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam sesi pemaparannya. Kehadiran TPNW yang sejalan dengan komitmen Indonesia dalam Pancasila dan UUD 1945 pun mendapat dukungan penuh dari Indonesia—muncul rasa ownership Indonesia terhadap traktat ini. Mengenai ratifikasi sendiri, dalam penjelasannya, Ricky mengatakan bahwa Indonesia saat ini tengah menjalani proses sosialisasi pada akademisi dan pemangku kebijakan, serta tengah membentuk panitia guna menyusun undang-undang yang sejalan dengan TPNW.
Sesi materi terakhir disampaikan oleh Muhadi Sugiono, Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM dan Anggota Tim Kampanye ICAN. Secara garis besar, Muhadi menyampaikan analisis hubungan internasional, khususnya politik internasional, dengan melihat posisi serta signifikansi TPNW saat ini. Sebagai sebuah usaha yang dipandang revolusioner, TPNW berhasil menandingi kesepakatan-kesepakatan yang pernah dibuat sebelumnya yang, sayangnya, masih mengakui senjata nuklir secara “legal” sebab mengizinkan lima negara untuk tetap memilikinya. TPNW pun menjadi penekan bagi negara-negara pemilik senjata nuklir untuk segera melucuti dan menghilangkan senjata berbahaya tersebut. Meski begitu, Muhadi memaparkan bahwa dampak dari TPNW sendiri tidak bisa dirasakan secara langsung dan dalam jangka pendek, masih perlu proses yang panjang hingga akhirnya dampak dari adanya TPNW dapat dirasakan. Indonesia, sebagai salah satu negara yang menandatangani TPNW, memiliki kewajiban moral untuk tidak membuat kebijakan yang bertentangan dengan TPNW. Selain sesi materi dan diskusi tanya jawab, webinar ini turut menayangkan kumpulan video kampanye #SelamatTinggalSenjataNuklir dari berbagai kalangan. Pengumpulan video sudah dilaksanakan sejak jauh-jauh hari oleh IIS UGM bekerja sama dengan ICAN dalam rangka merayakan diberlakukannya TPNW. (/hfz)