Merefleksikan 25 Tahun Desentralisasi Pendidikan, Magister Sosiologi Fisipol UGM Ajak Berdiskusi

Yogyakarta, 19 Juni 2024─Dalam kuliah tamu yang diselenggarakan oleh Program Studi Magister Sosiologi Fisipol UGM, Irsyad Zamjani selaku Kepala Pusat Standar dan Kebijakan Pendidikan Kemendikbudristek RI memaparkan beberapa pertimbangan desentralisasi pendidikan di Indonesia.

Desentralisasi atau pengalihan tugas wewenang dalam mengambil keputusan, dilakukan dengan tujuan distribusi kekuasaan dan mengurangi kompleksitas birokrasi karena berupaya mendekatkan penerima layanan. Hal ini juga turut mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke-16 yaitu memperkuat perdamaian, keadilan dan kelembagaan yang tangguh. 

Dalam bidang pendidikan, wewenang aktor-aktor di pusat yang mulanya memiliki tujuan berbeda dengan aktor-aktor di daerah, disinergikan dalam satu sistem yang sama sehingga dapat membangun visi bersama. 

“Keberhasilan desentralisasi pendidikan itu bergantung dari sejauh mana aspirasi, kapasitas, budaya kerja, hingga afiliasi politik bisa diterjemahkan dalam sistem pengelolaan yang saling terkait,” papar Irsyad.

Desentralisasi pendidikan tidak bisa berdiri sendiri karena hal ini saling terintegrasi dalam sistem desentralisasi lain yang saling mendukung, seperti sistem politik, sistem ekonomi, dan sistem kelembagaan. Adapun sistem pendidikan di Indonesia melakukan desentralisasi dengan tiga pertimbangan utama. 

Pertama, pada aspek manajerial Indonesia masih memiliki birokrasi yang terlalu kompleks. Birokrasi yang kompleks ini salah satunya dilihat dari pembagian tupoksi tata kelola institusi pengelola sehingga tidak efisien. 

“Secara umum, pendidikan dikelola oleh dua kementerian yaitu Kemendikbud untuk kurikulumnya, dan Kemendagri yang mengatur sumber dayanya, karena mencakup birokrasi pemerintah daerah. Hal ini yang membuat birokrasi kompleks,” Irsyad menambahkan. 

Kedua, alasan politik. Mengingat desentralisasi muncul ketika reformasi, maka hal ini berusaha menjawab demokratisasi dan pembagian kekuasaan. 

Ketiga, alasan institusional yang berkaitan dengan krisis legitimasi. Secara global, pengaturan tata kelola pendidikan yang tersentral sudah tidak relevan sehingga Indonesia mengadopsi sistem tata kelola yang terdesentralisasi. 

Dengan dilakukannya pembagian kuasa dalam pengelola pendidikan, maka perhatian terhadap isu pendidikan mengalami peningkatan dan menjadi sektor paling populer secara politik. 

Meskipun demikian, desentralisasi pendidikan di Indonesia masih belum bekerja dengan baik. Kebijakan pendidikan di daerah didominasi oleh kebijakan populis yang tidak selalu sejalan dengan peningkatan mutu. Dengan demikian, perlu inisiatif mitigasi untuk mengatasi desentralisasi seperti memperkuat otonomi sekolah dan membuka partisipasi publik untuk mendorong diskusi perbaikan mutu.

Acara ini terselenggara atas mata kuliah Analisis Kebijakan Sosial dan menjadi manifestasi dari TPB ke-4 yaitu menciptakan pendidikan berkualitas. (/noor)