Rangkaian kegiatan pemilihan mahasiswa berprestasi Fisipol UGM telah usai. Dalam acara puncak acara yang telah selesai digelar tersebut, terpilih Raditya Darning dari Departemen Ilmu Hubungan Internasional sebagai Mapres di tingkat fakultas.
Dalam sesi wawancara dengan Tim Faculty Secretary Fisipol UGM, Radit – sapaan akrab Raditya Daning mengatakan bahwa debat merupakan passion yang sudah ia temukan sejak SMA. Keputusan Radit untuk kuliah di Departemen Ilmu Hubungan Internasional menjadi salah satu supporting system yang dirasa Radit sangat mendukung passionnya dalam debat.
Bagaimana proses kamu dalam menemukan passion?
Ya. Sejak SMA aku sudah sadar bahwa aku adalah anak sosial. Akan tetapi karena bersekolah di boarding school yang ada hanya kelas IPA, aku tetap menjalaninya. Lalu sampai akhirnya aku berkenalan dengan dua orang senior yang mengajak aku untuk ikut turun debat bahasa inggris.
Mengenai passion, apakah debat ini salah satunya?
Debat ini awalnya adalah hal yang menarik buatku.
Apakah debat ini yang menjadi pertimbangan kamu untuk kuliah di Ilmu Hubungan Internasional?
Engga juga. Karena alasan utama daftar di UGM, jaraknya dekat dari Semarang dan ketika aku masuk disini ternyata UKM debatnya bagus. Secara konkret aku mendapatkan kemampuan critical thinking, kemudian dari situ aku menemukan debat sebagai passion.
Gimana ceritanya bisa ikut mapres?
Sekitar dua hari sebelum batas pengumpulan administrasi, ada seorang senior yang menghubungiku dan mengajak untuk ikut. Tapi kan harus ada makalahnya sementara, aku gak ada ide bestcase kalau misalnya bisa daftar pun paling telat yaudah gapapa kayak dikasih waktu tambahan dua hari gitu trus yaudah aku cepet-cepet bikin outline makalah tapi itu juga aku belum nemu landasan konseptualnya apa, argumentasinya apa. Yaudah tiba-tiba nemu radikalisme, super asbtrak, trus aku kirim ke departemen lalu lolos sampai tahap interview
Emangnya ada apa dengan isu radikalisme?
Dari awal memang konsen aku di Timur Tengah dan menurutku terorisme in specific itu menarik. Seperti bagaimana proses kognitif psikologis orang-orang ketika mereka melakukan sesuatu. Konsep radikalisasi akhirnya muncul disertai dengan diskursus orang-orang barat yang bertujuan agar teroris tidak menjadi radikal.
Apa yang menarik dari isu radikalisme?
Karena waktu itu di Indonesia juga sedang raising religious in tolerance terus aku mikir pasti ada hubungannya. Pasti ada beberapa hal yang ditarik dan diaplikasikan ke masalah-masalah yang ada di Indonesia. Trus akhirnya aku melihat untuk orang mau gabung ISIS sama halnya dengan di Indonesia, pasti ada alasan dan prosesnya, ini yang mau kupelajari dan ciptakan strateginya agar tidak menjadi masalah.
Apa pandanganmu setelah mengkolaborasi isu radikalisasi dengan isu yang ada di Indonesia?
Kamu mau menjadi fundamentalis bukan sebuah masalah, maksudnya fundamentalis muncul pun sebagai bentuk pertahanan. Mau kamu punya extremism believe in your head doang, gapapa. Tapi menjadi problem ketika cara kamu menjustifikasi believemu itu dengan cara bilang orang lain lesser. Apalagi kalau justifikasi menggunakan kekerasan, jadi masalah. Bagaimana caranya mencari jalan tengah dari proses fundamentalisme sebelum ke terorisme, tengah-tengahnya ini yang berusaha aku modifikasi biar tidak menjadi terorisme.
Lalu strategi seperti apa yang kamu tawarkan?
Muncul ide untuk digital deradikalisasi. Soalnya orang-orang menjadi radikal karena belum mampu memfilter informasi yang mereka temukan.
Bagaimana caranya untuk melakukan digital literasi di Indonesia?
Aku fokus menginisiasi moderate movement. Inspirasi aku dari negara Malaysia, Pakistan dan Iran mereka menginisiasi konferensi. Di Indonesia sebenarnya sudah ada yang lumayan mirip namanya better understanding for better world tapi yang aku taruh di paper adalah kombinasi skill seperti worskhop conflict dan islamic. Lalu konferensi tidak berakhir begitu saja akan tetapi ada kelanjutannya dengan diskusi di platform online. Selain itu juga membuat platform online untuk hoax check. Jadi problem ketika approach orang-orang ngatasin radikalisme dengan menshutdown itu malah akan sulit diterima, mending diomongin pake basis akademis. (/dbr)