Yogyakarta, 23 November 2021─Departemen Sosiologi FISIPOL UGM mengadakan Kuliah Tamu dengan topik “Radikalisasi dan Radikalisme Keberagaman Kaum Muda” pada Selasa (23/11). Kuliah ini diisi oleh Dr. Noor Huda Ismail yang saat ini menjadi Visiting Fellow RSIS di Nanyang Technological University. Acara yang berlangsung melalui Zoom Meeting ini dihadiri oleh sekitar 170 mahasiswa.Berbicara tentang radikalisasi, sebetulnya tergabung dalam kelompok terorisme adalah sebuah proses. Laki-laki dan perempuan mengalami pengalaman bergabung yang berbeda, termasuk alasan tinggal ataupun pergi dari terorisme. Ada yang ingin terlihat maskulin dengan tetap tinggal untuk membela umat islam yang tertindas. Ada yang kemudian kembali ke asalnya membuka kamp militer dan menularkan ilmunya kepada anak muda.
Huda menjelaskan, menjadi teroris mulanya bergabung dahulu dengan kelompok organisasi islam untuk mendapatkan dorongan. Namun saat ini, dengan adanya media sosial bergeser menjadi connective action dan tidak hanya orang islam yang tergabung terorisme. Huda menyebutkan, ada orang kristen di India dan kelompok budha di Myanmar juga melakukan serangan dan kekerasan terhadap umat islam.
Huda menekankan bahwa melalui media sosial, apapun menjadi mudah. “Tetapi yang paling penting adalah orang tidak harus bergabung ke kelompok dahulu, cukup tergabung melalui jaringan media sosial,” ucapnya.
Lebih lanjut, kelompok ekstremisme ini bergerak dengan cara melawan multikulturalisme melalui gerakan-gerakan politik. Apalagi saat ini isu agama dan identitas politik begitu kuat di Indonesia. Contohnya saat pandemi COVID-19, kelompok ekstremisme mengatakan bahwa peristiwa itu merupakan akibat dari tidak berhukum islam. Kemudian, mereka mencatat berbagai solusi dan semacamnya untuk menarik orang masuk dalam lembaganya.
Berkaitan dengan itu, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan untuk merespon kondisi tersebut. Kita perlu sebuah intervensi transmedia di berbagai media baik online maupun offline. Kemudian, narasi harus mencakup kolaborasi dan kreasi bersama narasi alternatif di luar pesan individu. Di samping itu juga harus punya akuntabilitas di mana narasi yang dibuat memang benar-benar terjadi. Adapun yang paling penting adalah memperkuat peran credible voice, yaitu orang yang pernah terlibat dan pada titik tertentu ingin memulai hidup baru.
“Kita dorong credible voice meski tidak bisa serta merta langsung (berbagi cerita). Kita latih caranya ngomong di depan media, kita adakan pelatihan membuat konten-konten di media sosial agar terjadi dialog,” tutur Huda.
Setelah pemaparan materi, Huda memutarkan film tentang radikalisme yang berjudul Seeking the Imam. Film tersebut berperspektif gender yang menarasikan bagaimana seseorang bergabung dalam jaringan radikal dengan pengalaman lelaki dan perempuan. (/Wfr)